Jumat, 31 Oktober 2014

                                                             KONSEP PENDIDIKAN
                                               HUMANISTIK YB. MANGUNWIJAYA, Pr.
A. Filsafat Manusia
Menurut Romo Mangun, manusia adalah makhluk yang berakal budi, animal rationale. Dalam arti, manusia mampu berpikir, menentukan pilihan, dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya atau lebih mudahnya makhluk merdeka. Dengan pengertian ini maka manusia mempunyai tanggung jawab atas apa yang dipilih dan diperbuatnya. Keterangan ini bisa ditemui banyak dalam belantara pemikiran Romo Mangun meski tidak secara eksplisit. Diantaranya sebagaimana yang dituturkan secara tersirat sebagai berikut:
“Namun yang lebih penting ialah kebenaran yang tidak abstrak, akan tetapi yang sudah menjelma, merealisasi diri dalam sikap serta tindakan manusia yang benar, yang tidak bohong, tidak menipu, tidak palsu, melainkan yang betul, yang genuine, yang asli atau dengan istilah lain: yang fitri. Dalam aspek itulah benar(verum) lalu mengejawantahkan diridalam yang baik (bonum) dan dalam pengetrapan khususnya: yang indah (pulcbrum) bila diteruskan ke dalam aspek pertanggungjawaban manusia yang berdaulat dan berkehendak merdeka, maka kebenaran berbunga menjadi yang bermoral, yang etis, yang susila.”[18].
Kemudian Romo Mangun juga menyatakan bahwa secara kodrat pada diri manusia sudah tertanam bakat-bakat atau potensi-potensi yang diberikan oleh Tuhan padanya. Diantara potensi-potensi tersebut ialah potensi ingin selalu tahu, ingin bertanya, ingin mengeksplorasi, ingin maju, ingin mekar dan ingin mencapai kepenuhan diri. Pandapat ini ia sandarkan pada pemikiran filusuf klasik Yunani, Socrates dan juga tokoh psikologi perkembangan anak kenegaraan Swiss, Jean Piaget[19].
Selain itu Romo mangun juga menyatakan bahwa pada dasarnya manusia ialah makhluk bahasa. Dalam arti manusia ialah makhluk yang mempunyai potensi berkomunikasi yang berguna atau digunakan sebagai alat untuk mengembangkan potensi-potensi awal yang dipunyainya. Bahasa yang dimaksud Romo Mangun di sini ialah bukan bahasa yang berarti sempit, yakni bahasa hanya symbol verbal komunikasi lisan, namun lebih dari itu, yaitu juga menyangkut komunikasi lain yang bermacam-macam bentuk, semisal bahasa tubuh, bahasa gerak, bahasa isyarat dan bahkan interaksi sosial[20]. Atau, jika meminjam pernyataan Paul Suparno, manusia pada dasarnya, dengan bahasa yang berarti luas pastinya, ialah makhluk sosial. Makhluk yang tidak bisa hidup dan berkembang menuju kesempurnaan tanpa bantuan atau bersama orang lain[21].
Selain manusia adalah makhluk yang bebas, mempunyai bakat atau potensi bawaan, dan makhluk bedimensi sosial, menurut Romo Mangun manusia juga makhluk yang bernilai dan ber-Tuhan. Manusia makhluk yang bernilai karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang berharga, yang tidak dapat direndahkan atau diperkosa haknya. Terkait keyakinan ini terlihat jelas pada kegigihan Romo Mangun memperjuangkan kesejahteraan masyarakat miskin baik dari segi kesejahteraan rohani yakni dengan jalan pendidikan, maupun dari segi kesejahteraan jasmani semisal pendampingan warga tepi Kali Code dan warga korban pembangunan waduk Kedungombo dengan pembuatan perumahan[22].
Kemudian maksud manusia makhluk ber-Tuhan ialah makhluk yang memiliki dan membutuhkan Tuhan. Dalam arti untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang penuh dan utuh, harus menjalin relasi yang baik dengan Tuhan yang menciptakannya. Dengan kesadaran ini maka manusia akan menjalin hubungan yang harmonis baik dengan sesama manusia maupun dengan alam semesta yang notabene-nya sebagai sama-sama makhluk Tuhan. Atau lebih mudahnya, kesadaran ketuhanan ini dijadikan dasar nilai untuk bercarapandang, bertindak, bersikap, dan juga nantinya dijadikan dasar nilai atas semua ilmu pengetahuan. Keterangan ini tertuang jelas pada pernyataannya tentang kurikulum yang ia analogikan dengan sebuah pohon yang dikutip oleh A. Supratiknya sebagai berikut:
“Akar-akar pohon mewakili mata pembelajaran sejarah dan geografis yang berfungsi memberikan identitas dan orientasi diri kepada anak. Batang pohon mewakili mata pembelajaran bahasa, matematika dan sains yang berfungsi memberikan bekal ketrampilan yang efektif untuk berkomunikasi dan memahami realitas lingkungan benda, flora dan fauna. Mahkota daun mewakili berbagai mata pembelajaran ekspresi dan ketrampilan yang berfungsi memberikan bekal untuk pengolahan alam baik di dalam maupun diluar manusia. Diterangi oleh matahari yang mewakili religiusitas dan bulan yang mewakili budi etis pancasila, semua itu dimaksudkan menjadi kesatuan organis yang utuh dan harmonis.[23]”
Beberapa pokok pemikiran filsafat manusia ini kemudian dijadikan prinsip hidup Romo Mangun yang ia sebut dengan Tri Bina, yakni bina manusia, bina usaha, dan bina lingkungan. Dan pastinya, prinsip hidup ini juga akan mempengaruhi konsep pendidikannya[24].
B. Filsafat Pengetahuan
Filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan ini disebut dengan epistemology[25]. Menurut filsafat (epistemology) klasik pengetahuan itu sudah ada dan sudah jadi. Tugas guru ialah mentransfer pengetahuan itu ke dalam otak anak didik, sehingga anak didik menjadi tahu. Filsafat ini dilandaskan pada filsafat John Locke yang mengatakan bahwa anak didik adalah bagaikan selembar kertas putih atau tabula rasa. Lalu tugas guru di sini ialah memberi tulisan-tulisan pada kertas kosong tersebut[26].
Kemudian menurut Romo Mangun, yang nota bene-nya pengikut dari filsafat konstruktifisme[27], pengetahuan itu adalah bentukan (konstruksi) siswa sendiri yang belajar. Jadi pengetahuan ialah bukan hal yang sudah jadi, melainkan proses menjadi. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Romo Mangun sebagai berikut:
Anak aktif mengkonstruksi atau mereka-reka sendiri konsep atau gambaran tafsiran dalam pikirannya tentang apa yang ia lihat dan alami secara berkesinambungan terus menerus. Dari konsep rekaan tafsiran yang satu ke konsep rekaan tafsiran yang lain.
Proses pengembangan intelegensi si anak adalah proses bersinambung dalam pikiran anak yang terus-menerus membuat rekaan gambaran baru tentang segala apa yang sudah ia ketahui terdahulu[28].
Untuk lebih jelasnya tahap-tahap dari proses mengetahui ini ialah sebagaimana yang dicontohkan Romo Mangun berikut:
Sang ibu memberi tahu anaknya bahwa benda yang dilihatnya itu disebut khutuk. Untuk sesaat anak merasa puas dengan pengetahuan itu, kepuasan ini disebut equilibrium (keseimbangan). Kata khutuk akan muncul dalam benak si anak setiap melihat anak ayam yang lain, dan proses ini disebut sebagai asimilasi (pencernaan). Ketika suatu saat si anak melihat seekor anak itik berenang di selokan keseimbangan tentang khutuk terganggu. Ia melihat khutuk yang bentuknya berbeda dan bisa berenang. Ketidakseimbangan ini disebut disequilibrium. Ketidakseimbangan ini membuat si anak menafsir ulang konsep pengetahuannya terdahulu, proses ini disebut akomodasi (suatu penyesuaian diri dengan situasi baru). Proses akomodasi ini memunculkan kata baru “khutuk banyu”. Proses mengatasi disequilibrium ini disebut dengan equilibration. Ketika sang ibu memberi tahu kata “meri” untuk sebutan khutuk banyu yang dikenal sebelumnya, si anak tidak merasa kesulitan sebab hanya tinggal soal nama. Pembentukan konsep baru telah terjadi ketika si anak mengkonstruksi binatang kecil yang bisa berenang di selokan sebagai khutuk banyu[29].
Dari uraian di atas, Romo Mangun ingin memperlihatkan bahwa proses bertanya anak sudah dimulai sejak mereka mulai berinteraksi dan belajar mengenali lingkungan yang ada disekitarnya, dan akan terus berkembang seumur hidupnya. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar gagasannya tentang konsep Belajar Sejati, yakni sebuah tahap di mana seseorang punya kesadaran diri untuk memperhatikan, mempelajari, dan menekuni segala hal yang dialaminya sehari-hari secara terus-menerus[30]. Jadi ‘Belajar Sejati’ merupakan proses belajar yang tidak terikat oleh tempat dan waktu, atau lebih mudahnya belajar tidak harus melalui sekolah formal, namun bisa kapan saja dan di mana saja.
C. Visi Pendidikan
Dengan berlandaskan keyakinan-keyakinan di atas, menurut Romo Mangun visi pendidikan tidak lain ialah ‘Belajar Sejati’ itu sendiri, yakni mengantar dan menolong anak didik untuk mengenal dan mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri, dewasa, dan utuh; bukan Cuma menjadi kepingan serba pasrah belaka kepada mesin besar yang tak dia ketahui susunannya dan arahnya; manusia merdeka sekaligus peduli dan solider dengan sesama manusia lain dalam ikhtiar meraih kemanusiaan yang terjadi, dengan jati diri serta citra diri yang semakin utuh harmonis dan integer[31].
Kemudian, supaya ‘Belajar Sejati’ tersebut terwujud, Romo Mangun menunjuk dua kompetensi dasar yang harus diterapkan dan dikuasai anak didik. Pertama, kemampuan komunikasi dan penguasaan bahasa yang dilengkapi dengan kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan sesama[32]. Kedua, pemekaran jiwa anak yang eksploratif, kreatif, dan integral. Kemampuan eksploratif membuat anak suka mencari, bertanya, dan menyelidik. Kemampuan kreatif membuat anak bisa mencipta hal-hal baru yang lebih baik dan berguna. Kemampuan integral membuat anak bisa melihat dan menghadapi beragam segi kehidupan dalam keterpaduan yang utuh[33].
D. Konsep Kurikulum
1. Orientasi
Romo Mangun mengkritik kurikulum nasional mulai dari kurikulum 1974, 1984, dan kurikul 1994. atau bahkan kurikulum sekarang jika sifatnya sama dengan kurikulum pada masa-masa kehidupannya itu. Menurut Romo Mangun kurikulum-kurikulum tersebut hanya menekankan pada aspek kognitif saja. Sebab hanya menekankan pada sisi materi (padat Materi) dan melupakan sisi ketrampilan dan amalnya. Ditambah lagi kesemuannya itu telah ditentukan secara seragam oleh pemerintah pusat, baik beban mata pelajaran, cara pengajaran, dan system evaluasinya (THB, NEM, dan EBTA) yang mengakibatkan anak didik buta dengan lingkungan sekitar serta kehilangan daya kreitifitas dan eksplorasi yang akan menuntunnya pada belajar sejati. [34]. Kemudian untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Romo Mangun kurikulum harus bersifat kontekstual, dimanis, dan berdasar pada kebutuhan, kemampuan, potensi dan jenjang umur anak didik[35].
Selain itu, supaya anak didik mampu menghadapi dunia yang semakin menglobal sebagaiman sekarang, menurut Romo Mangun kurikulum juga harus diarahkan pada sasaran itu. Artinya, kurikulum juga harus memberikan alat pada anak didik untuk menghadapinya. Menurutnya, alat yang perlu diberikan pada anak didik terkait ini ialah penguasaan teknologi dan bahasa. Bahasa yang tidak berarti sempit, yakni hanya sebagai alat komunikasi verbal, namun bahasa yang berarti luas yang juga menyangkut tentang kemahiran interaksi. Sebab, dengan ini anak didik bisa mengakses informasi dan ilmu pengetahuan bertaraf internasional dengan mudah dan juga mampu mengkomparasikannya dengan pengetahuan yang dimiliki oleh orang lain. Terkait ini Romo Mangun mengutip kata mutiara “penguasaan bahasa X adalah anak kunci dunia dan harta perbendaharaan budaya bangsa X itu”[36].
Hal yang perlu diperhatikan lagi ialah terkait keberagaman potensi, bakat-minat, daya tangkap dan kecenderungan yang dimiliki oleh anak didik. Diakui atau tidak hal ini adalah sunah alam yang harus dihargai dan dikembangkan. Kurikulum tidak bisa dipaksakan pada anak didik, biarkan mereka memilih sendiri sesuai dengan kecenderungannya. Sebab anak kunci yang paling menentukan bagi perkembangan anak didik pada hakikatnya ialah perhatiannya (concern), pilihan pribadinya, dan di mana hatinya[37]. Maka dari itu, Romo Mangun sangat menolak system yang otoriter, doktriner dan sentralisasi.
Dari uarain panjang tersebut bisa dipahami bahwa orientasi kurikulum yang digagas oleh Romo Mangun ialah orientasi kemandirian anak didik dengan pola-pola kurikulum yang kontekstual, dinamis, demokrasi, humanis, menganut system desentralisasi, dan ia menolak kurikulum yang berakhir pada pembunuhan karakter anak didik, a histories dan padat isi.
2. Isi/ Materi
Sebagaimana telah diulas pada sub bab sebelumnya, bahwa kurikulum harus bersifat kontekstual, dinamis, bertumpu pada kemampuan dan kebutuhan anak didik, maka di sini peneliti paparkan beberapa mata pelajaran yang diterapkan oleh Romo Mangun di SDKEM sekaligus dasar pemikiran yang melatarinya, mata pelajaran tersebut sebagaimana berikut:
a.    Pendidikan Seni
Pendidikan seni di sini tidak bermaksud agar anak didik menonjol dalam mementaskan seni, namun lebih bertujuan untuk membina cita rasa, kepekaan kebudiawanan yang mengarah kearifan anak didik. Selain itu pendidikan seni juga berguna untuk mempertajam pikiran, kreativitas dan mnyehatkan tubuh[38].
a.    Olah Raga
Tujuan mata pelaran ini ialah selain memang untuk menjadikan tubuh anak didik sehat, juga juga bertujuan untuk menumbuhkan jiwa sportif dan fair anak didik. Jadi bukan bertujuan untuk menang atau berjaya dalam bermain, namun lebih menekankan nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya[39].
a.    Pendidikan Keterampilan
Tujuan pelajaran ini adalah agar anak didik harus belajar untuk yakin, bahwa semua pekerjaan tangan atau kasar, terutama yang dikerjakan oleh rakyat kalangan bawah, sungguh-sungguh berguna, berharga, dan mengharukan. Dalam arti tujuan pendidikan ini ialah untuk menghilangkan rasa minder, pesimis dan canggung anak didik dalam segala hal[40].
a.    Pendidikan Bahasa dan Komunikasi
Tujuan pendidikan ini ialah untuk memberi bekal anak didik untuk masa depannya nanti. Dengan penguasaan bahasa, baik bahasa komunikasi interaksi maupun bahasa verbal, baik bahasa nasional maupun bahasa internasional, anak didik mampu hidup di manapun. Selain itu dengan bekal ini anak didik juga akan mudah untuk menyerap informasi dan ilmu pengetahuan secara mandiri. Sehingga wawasan yang dimilikinya bisa lebih luas dan bertambah[41].
a.    Pelajaran IPA dan IPS
Pelajaran ini diberikan sesuai dengan kebutuhan anak didik. Dalam arti dipilah mana yang perlu diketahui dan mana yang tidak ada salah dan ruginya jika tidak diketahui. Yang penting diketahui adalah kunci dan anak kunci serta rahasia-rahasia di mana ada dan bagaimana cara memperoleh informasi atau pengetahuan. Dan yang jelasnya lagi, kesemuanya itu harus sesuai dan relevan dengan kehidupan keseharian anak didik[42].
a.    Komunikasi Iman
Pengajaran ini berangkat pemahaman bahwa sesungguhnya setiap anak telah berbakat religius. Tapi bakat religius anak itu perlu dibantu. Dalam pelajaran ini yang diutamakan bukan pengetahuan tentang agama, melainkan mendampingi anak didik demi pemekaran sikap dasar dari dalam diri berupa hati nurani dan niat serta tekad untuk berbuat, khususnya berbuat cinta kasih. Jadi komunikasi iman tidak lagi berupa pengajaran, penataran, hafalan belaka, tentang agama. Namun yang terjadi adalah dialog, komunikasi, interaksi dan terutama perbuatan antar iman yang dimiliki oleh anak didik dan civitas akademik[43].
Dari sini bisa dipahami bahwa tujuan mendasar pendidikan komunikasi iman ini ialah menumbuhkan sikap religius anak, yakni agar anak didik semakin punya sikap dasar yang betul, hati nurani yang peka terhadap yang baik dan menolak segala yang buruk. Dan juga, dengan komunikasi iman ini anak didik diharapkan mampu menghormati perbedaan dan keberagaman.
Terkait religiusitas, Romo Mangun membedakannya dengan agama. Yang pertama menekankan substansi, sementara yang kedua berhenti pada formalitas[44]. Seorang yang beragama secara legal-formal, tidaklah praksis menjadi religius, jika pada kenyataannya seluruh aktifitasnya disandarkan pada pemenuhan kebutuhan duniawi dan mengabaikan kemanusiaan serta kesetabilan alam. Begitupun sebaliknya, seseorang bisa menjadi religius jika seluruh aktivitasnya disandarkan secara sungguh-sungguh dengan pengabdian pada ketuhanan, kemanusiaan, dan keseimbangan alam[45].
Bagi Romo Mangun, pengajaran agama tetap perlu dilaksanakan, namun tempatnya adalah di dalam keluarga, di masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya, bukan di sekolah. Sekolah harus bersifat dan bersikap inklusif, terbuka bagi murid dari berbagai agama[46].
a.    Matematika
Menurut Romo Mangun, pelajaran matematika adalah pelajaran penting kedua setelah bahasa karena membantu anak untuk dapat berpikir logis, kritis, teliti, berabstraksi, bisa mengambil keputusan, dan kreatif[47]. Hal ini sama dengan yang dinyatakan oleh J. Drost, tokoh yang sering mengkonter pemikiran Romo Mangun. Menurutnya, meski matematika adalah ilmu kuantitas, namun mengajarkan seseorang bernalar logis[48].
h. Kotak Pertanyaan, Baca Buku Bagus, dan Majalah Meja
Ketiga mata pelajaran ini beserta mata pelajaran komunikasi iman dan pendidikan seni, bisaanya diadakan pada setiap hari Sabtu dan menjadi mata pelajaran khas SDKEM. Kelima mata pelajaran khas tersebut merupakan cara untuk melatih kepekaan anak didik untuk mencermati lingkungan keseharian[49].
Kotak pertanyaan berfungsi untuk menampung pertanyaan-pertanyaan anak didik tentang sesuatu yang dianggap belum tahu. Pertanyaan-pertanyaan yang terkumpul kemudian dibahas bersama-sama pada hari Sabtu siang. Lalu dengan baca buku bagus, anak didik diajak untuk memperluas cakrawalanya, diajak keluar dari tempurung tradisionalisme konservatifnya, diajak mengenal kebudayaan lain, dan diajak mengenal dialektik antar sana dan sini. Hal ini dilakukan dengan cara guru bercerita kepada murid[50].
Kemudian, dengan adanya majalah meja, anak didik bisa langsung belajar dengan hanya melihat meja yang ditempatinya. Artinya bagaimana membuat anak didik dekat dengan bahan atau sumber pengetahuan. Majalah meja ini diisi dengan artikel-artikel baik dari koran maupun majalah yang diganti setiap hari Minggu oleh staf[51].
1.    Evaluasi
Terkait evaluasi, Romo Mangun tidak setuju dengan system evaluai normative sebagaimana THB, UAN, NEM dan Ebtanas. Apalagi kesemuanya ini dilakukan dengan cara top down. Sebab, system evaluasi ini menurutnya hanya akan membunuh daya kreatifitas dan eksplorasi anak didik, kemudian membuat belajar hanya untuk mengejar nilai, menghilangkan rasa solidaritas serta kerja sama, menyuburkan komersialisasi buku-buku wajib dan lain-lain yang sering sungguh justru memperbodoh murid, semisal menjamurnya bimbingan tes, tempat kursus yang menggunakan system drill dan serba mahal[52].
Selain itu, menurut Romo Mangun evaluasi harus mengikutsertakan orang tua murid. Keikutsertaan orang tua sangat diharapkan agar bisa mengetahui kegiatan anak didik ketika berada dirumah. Sebab untuk mencapai pada ‘Belajar Sejati’ anak didik diharapkan tidak hanya belajar di sekolah saja, namun dimana saja dan kapan saja, baik di sekolah atau ketika berada di rumah. Maka komunikasi antara Guru dan wali murid menjadi faktor penting[53].
Terkait dengan absensi, Romo Mangun tidak terlalu menghiraukan. Sebab, menurutnya mau berangkat sekolah atau tidak itu ialah kebebasan dari anak didik. Namun, di SDKEM, jika anak didik tidak berangkat lebih dari tiga hari, maka guru atau pihak sekolah akan mendatangi rumahnya dan menanyakan apa masalah atau penyebabnya. Jika karena masalah dana, maka pihak sekolah akan mencarikan solusianya.
Dengan dasar di atas, maka absensi tidak mempengaruhi naik kelas atau tidaknya anak didik, jika dia mampu melalui tes yang diadakan maka dia bisa naik kelas. Bahkan, Romo Mangun tidak setuju adanya keputusan tidak naik kelas. Anak yang tinggal dikelas dikhawatirkan membuat anak didik patah semangat karena malu, kehilangan teman-temannya dan merasa jadi anak yang paing bodoh[54].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar