Sabtu, 15 November 2014

ARTIKEL PENDIDIKAN DAN KSEADARAN KRITIS

                                           PENDIDIKAN DAN KSEADARAN KRITIS
by: Ino Suhartono



Pendidikan yang merupakan salah satu penentu arah kemajuan suatu bangsa kini menjadi semakin rumit bagi bangsa kita yang tercinta ini. Realitas itu dapat kita lihat dari regulasi pemerintah dibidang pendidikan yang selalu latah, atau  meniru-niru “adegan” yang dilakukan oleh bangsa asing yang boleh jadi pemerintah kita hanya copy paste tanpa mempertimngkan apa manfaat, bagaimana memfungsikannya dan menyesuaikannya dengan kultur pendidikan kita dengan baik dan benar . Dan ketika ditanya, apa hal yang perlu diperbaiki, supaya Indonesia bisa menjadi bangsa yang lebih baik, kebanyakan orang akan menjawab: “Pendidikan”. Mereka berpikir, ketika semua orang Indonesia bisa mendapatkan pendidikan bermutu, maka kemampuan sumber daya manusia akan meningkat, dan ini akan bisa memperbaiki situasi Indonesia. Kita bisa saja setuju dengan pendapat ini. Namun pertanyaan berikutnya adalah, pendidikan macam apa yang kita perlukan?
Merujuk Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) no. 20 tahun 2003 yang menegaskan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hemat kami adalah bagaimana  sistem pendidikan yang kita terapkan bukan hanya mengangkat kecerdasan kognitif saja akan tetapi bagaimana sistem pendidikan tersebut dapat menjadikan manusia yang memiliki keseimbangan baik Body, Mind , maupun  Soul . Maka potensi manusia yang harus dikembangkan melalui pendidikan adalah menyangkut aspek-aspek pembelajaran fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual, akademik, moral, imajinasi, budaya, dan estetika, untuk kemudian mengarahkan seluruh aspek tersebut kearah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan manusia di dunia”.

1.    Kesadaran kritis
Proses penyadaran dan pembebasan memang tidak datang dari firdaus. Sebaliknya proses tersebut harus diawali dengan penderitaan dalam bentuk paksaan. Secara normatif hal tersebut memang tidak dapat dibenarkan. Namun secara realistik setiap bentuk kebebasan selalu muncul setelah adanya penindasan dan paksaan. Setiap orang bebas untuk memilih makanan kesukaannya. Namun terlebih dahulu ia perlu belajar cara makan yang tepat. Untuk memperoleh pengetahuan tentang cara makan yang tepat, ia harus dipaksa belajar oleh orang tuanya. Setiap orangpun berhak untuk menuliskan pemikirannya secara bebas. Namun untuk bisa menulis, ia perlu dipaksa untuk belajar oleh guru dan orang tuanya. Sekali lagi cara ini memang tidak normatif, Namun kesadaran dan kebebasan adalah sesuatu yang muncul dari bangkai sejarah dan peradaban yang memang berisi penindasan. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) juga muncul dari pengalaman traumatis atas perbudakan dan penjajahan . Maka sudah sewajarnya untuk bisa berpikir kritis, orang perlu untuk dilatih dalam tekanan dan paksaan terlebih dahulu. Harapannya ia kemudian menjadi sadar, dan tergerak dari dalam untuk mengembangkan kesadarannya itu.
Kesadaran kritis merupakan tanggapan atas suatu masalah secara mendalam dan kritis, membentuk argumen dalam bentuk lisan maupun tulisan secara sistematis dan kritis, mengkomunikasikan ide secara efektif, dan mampu berpikir secara logis dalam menangani masalah-masalah kehidupan yang selalu tak terduga

2.    Pembebasan
Kebebasan yang diperlukan adalah kebebasan yang berakar pada kesadaran kritis orang yang tergerak oleh penindasan ataupun ketidakadilan sosial yang terjadi di depan matanya. Kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan tanpa arah dan anarkis, melainkan kebebasan yang berorientasi pada upaya-upaya kritis, guna menciptakan masyarakat yang bermutu , adil dan sejahtera. Dalam arti ini kebebasan dan kesadaran kritis adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan! Pendidikan memainkan peranan yang sangat penting untuk menciptakan kesadaran kritis di pikiran para peserta didik. Dalam kaitan dengan itu kiranya sulit bagi kita untuk berkembang sebagai pribadi dan sebagai bangsa di abad 21 ini, jika kita tidak memiliki sikap kritis dalam menilai dan memaknai segala hal.
Kemunculan Kurikulum 2013 sejak bergulirnya wacana sampai pada pelaksanaannya sudah menuai banyak  pro kontra. Namun pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tak bergeming, mereka tetap optimis implementasi kurikulum 2013 akan menjadi jalan terbaik bagi terwujudnya peserta didik yang berkualitas secara moral dan intelektual. Meski sebenarnya tak semudah itu mewujudkan peserta didik yang berkualitas secara moral dan intelektual. Karena sejatinya seperti pandangan Jean-Paul Sastre manusia adalah makhluk bebas, sehingga dirinya tidak suka dikekang.
Kurikulum 2013 dengan seperangkat aturan main yang ada di dalamnya, menghadirkan pengekangan terhadap peserta didik. Peserta didik didikte mengikuti semua aturan main yang ada pada Kurikulum 2013, sehingga mereka tidak diberi kesempatan menentukan bersama-sama model pembelajaran yang ideal. Mungkin Kemdikbud mengira ukuran ideal hanya cukup ditentukan oleh pemerintah dan pakar pendidikan yang dilibatkannya. Sementara peserta didik juga memiliki kebebasan berpikir dalam menentukan model pembelajaran yang ideal. Peserta didik bukan robot yang dapat digerakkan secara simultan dengan sistem mekanik yang ada. Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebebasan berpikir dalam menentukan arah hidupnya. Mereka memiliki kemampuan merancang model pembelajaran ideal dalam proses belajar mengajar.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar