KURIKULUM PENDIDIKAN
By: INO SUHARTONO
Apakah bobroknya sistim pendidikan Indonesia juga
mempengaruhi pembodohan siswa? Pembodohan siswa juga dipengaruhi oleh
buruknya sistim pendidikan. Namun apakah benar sekarang sistim
pendidikan dinegara kita benar-benar telah buruk sehingga menghancurkan
pertahanan dan kekuatan pendidikan kita yang pada era 50-an menjadi
sorotan Negara tetangga kita yang sekarang telah maju seperti Singapura
dan Malaysia. Semua hak cipta pendidikan kita seakan-akan dirampas oleh
mereka sehingga Indonesia yang pada awalnya masih berada pada peringkat
lebih atas dari mereka tersudut dengan kebodohan sendiri dan hanya mampu
mengatakan wah…mereka hebat!!!.... padahal kita seharusnya malu dan
berusaha merebut kembali citra pendidikan kita dengan terus bersemangat
serta berdoa dan beriktiar untuk memajukan dan mengembangakan
pendidikan.
Miris rasanya jika kita melihat realita saat ini. tirani
kebodohan dan pembodohan masih terus bercokol di berbagai pelosok
nusantara. lihat saja kurikulum pendidikan kita saat ini yang masih
mengacu pada pedoman era industry. dimana sekolah-sekolah dan tempat
universitas sekalipun secara berkesinambungan hanya mencetak para robot
agar bisa bekerja, bekerja dan bekerja. terbukti ketika terjadi
pembukaan lowongan pns, yang di butuhkan cuma 60, yang mendaftar bisa
sampai 3000 orang. tidak hanya itu, lowongan pekerjaan swastapun
demikian halnya. Pengangguran intelektual kita saat ini sudah mencapai
jutaan orang. Apakah tidak ada evaluasi sama sekali terhadap kasus
tersebut untukbisa merancang sebuah arsitek pembangunan SDM masa depan
yang bermutu ?
dan ini baru satu kasus, masih begitu banyak tirani
kebodohan dan pembodohan lain yang bisa kita kuak. dan ini artinya kita
benar-benar belum merdeka.
Benarkah desentralisasi
akan meningkatkan mutu pendidikan dinegri kita yang tercinta ini? Coba
kita renungkan, pertama kebijaksanaan desentralisasi memerlukan
pelaksanaan-pelaksanaan yang bertanggungjawab, inovatif, kreatif dan
berjiwa mandiri. Karena pengalaman dibawah sistim pendidikan
sentralisasi yang cukup lama dan berlebihan, maka pelaksanaan pendidikan
dengan sifat-sifat diatas tidak banyak. Pelaksanaan pendidikan kita
sudah terbiasa dengan intruksi ,juklak,dan juklis. Sehingga adanya
kebijaksanaan desentalisasi setidak-tidaknya untuk waktu tertentu akan
menimbulkan kemandekan dalam dunia pendidikan. Kedua, desentralisasi
mungkin bisa meningkatkan kwalitas pendidikan dalam arti meningkatkan
penguasan anak atas mata pelajaran yang diberikan sebagaimana
ditunjukkan oleh scor test. Tetapi desentralisasi belum merupakan
jaminan bisa ditingkatkan eksternal efisiensi, dalam arti dalam lulusan
sekolah bisa mendapatkan dan melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya.
Tembok
yang kokoh kuat sebagaimana tembok berlin memisahkan dunia pendidikan “
dunia kerja” difihak lain. Adanya tembok pemisah tersebut menjadikan
adanya kesenjangan antara kedua dunia tersebut. Akibatnya hubungan
antara dunia pendidikan dan dunia kerja tidak harmonis. Kemajuan yang
terjadi didunia kerja tidak bisa disadap secsra cepat oleh dunia
pendidikan tidak cocok dengan kebutuhan kerja. Dan adanya penganguran
bersamaan kekurangan tenaga kerja didunia kerja tidak bisa dielakkan
lagi.
Penghilang tembok pemisah antara dunia kerja dan dunia
pendidikan atau deberlinisasi ini sangat diperlukan untuk melengkapi
desentralisasi. Sebab desentralisasi hanya akan meningkatkan penguasaan
pelajaran, tetapi bukan meningkatkan kemampuan bekerja. Deberlinisasi
berarti memberikan kesempatan orang-orang dari dunia pendidikan
mendapatkan sesuatu yang rill daru dunia kerja, sebaliknya orang yang
dari dunia kerja bisa mendapatkan informasi-informasi dari dunia
pendidikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dunia
kerja. Demikian pula, tenaga-tenaga ahli dari dunia kerja diajak untuk
mengembangkan kurikulum pendidikan,bahkan sudah masanya mereka ini
diundang masuk kedunia pendidikan. Kehadiran tenaga dari dunia kerja ini
tidak hanya akan menjadikan apa yang disampaikan sangat menarik
sehingga sehingga meningkatkan aspek kognitif mahasiswa atau siswa,
tetapi yang lebih penting lagi, kehadirannya akan semangat dan metalitas
dunia kerja kedalam dunia pendidikan.
Energi bangsa kita
suadah banyak terbuang sia-sia untuk menciptakan tembok-tembok pemisah
yang melahirkan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala
beban kurikulum yang luar biasa beratnya. Padahal, jika potensi (IQ)
siswa hanya 90 atau 100, diberi pelajaran tambahan berapapun, tidak akan
meningkatkan hingga 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan pada
bidang keterampilan untuk menyiapkan 85% penduduk agar mereka siap dan
terampil untuk bekerja secara profesional, mencintai pekerjaannya dan
berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi
Indonesia tidak separah sekarang (Megawangi 2008).
Lihatlah sejenak
anak-anak yang lebih memilih nongkrong di jalan bahkan dengan bangganya
menghisap rokok dan mereka benar-benar tidak memiliki rasa malu dengan
atribut lengkap yang masih mereka kenakan (seragam) yang bahkan
mencantumkan namanya dan identitas sekolah yang sangat lengkap. Lantas
pertanyaanpun muncul, apa sebenarnya titik masalah yang mereka hadapi?
Apakah permasalahan ekonomi? Keluarga? Lingkungan masyarakat yang tidak
mendukung? Atau kah lingkungan akademik yang seakan-akan menganggap
mereka kaum ‘terpinggirkan’ karena tidak sekompeten siswa yang lainnya
sehingga jalanlah pilihan mereka dibandingkan sekolah yang di create
untuk menimba ilmu sebanyak mungkin sehingga menghasilkan insan-insan
akademisi unggul. Lantas bukankah Tuhan membekali manusia dengan
struktur otak yang sama, dan ketika manusia dilahirkan benar-benar pure
semuanya sama tidak memiliki pengetahuan sama sekali karena pengetahuan
tumbuh tidak terlepas dari di mana dan pada lingkungan seperti apa ia
dibesarkan.
Erik Erikson (1902-1994) berpendapat bahwa perkembangan
emosi positif sangat penting dalam perkembangan jiwa anak, dan ini
sangat bergantung pada peran orangtua dan guru. Memasuki usia 18 bulan
sampai 3,5 tahun seorang anak memasuki tahap autonomy vs shame/doubt
(kemandirian vs ragu/malu) dalam tahapan ini anak akan mempunyai rasa
malu dan ragu tentang kemampuan dirinya. Mereka hendaknya dibiarkan
bebas bereksplorasi dan bereksperimen walau tetap dalam pengawasan
orangtua. Anak yang sering dilarang, dimarahi, serta dihukum pada
tahapan ini akan menjadi pribadi yang apatis dan rendah diri. Ia juga
akan menjadi ragu dalam proses pengembangan identitas kepribadiannya
yang unik karena takut dianggap berbeda. Usia 3,5-6 tahun anak memasuki
tahap initiative vs guilt (inisiatif vs merasa bersalah) seorang anak
yang baik pada tahapan sebelumnya berpotensi berkembang ke arah yang
positif (kreatif, antusias, aktif bereksperimen, imajinatif, berani
mencoba, berani mengambil resiko, dan senang bergaul dengan kawannya).
Kesemuanya ini bergantung kepada lingkungan belajar anak yang kondusif,
jika pada masa ini anak sering dikritik, maka emosi yang timbul adalah
negatif (selalu timbul perasaaan bersalah atas apa yang telah ia
kerjakan) ketika anak diberikan tanggung jawab dan semakin ia merasa
bertanggung jawab, maka anak semakin mempunyai inisiatif. Usia 6-10
tahun anak memasuki tahap industry vs inferiority (berkarya/etos kerja
vs minder) masa ini merupakan masa kyang sangat kritis bagi anak, di
mana anak mengembangkan kepercayaan dirinya bahwa mereka mampu untuk
berkarya dan bereksplorasi. Seharusnya pada masa ini anak paling antusia
belajar dan berimajinasi. Pada masa ini yang harus ditimbulkan pada
perasaan anak seperti “Aku bisa”, “Aku pintar”, “Aku anak baik”,dll.
Karena bila perasaan ini tidak ditimbulkan maka akan timbullah perasaan
rendah diri atau minder seperti “Aku bodoh”,”Aku tidak bisa
berkarya”,dll. Apabila perasaan negatif ini terus timbul maka akan
terbawa hingga ia dewasa.
Merujuk pada tahapan-tahapan
perkembangan tersebut yang ternyata masuk ke dalam usia pra sekolah dan
sekolah dapat ditarik kesimpulan bahwa usia-usia tersebut merupakan
masa yang sangat penting dimana antusias dan kepercayaan diri pada diri
anak di bangun. Dapat dibayangkan apabila ternyata anak justru tidak
mendapatkan kondisi positif untuk belajar dan mengembangkan dirinya.
Mari sejenak kita mengingat bagaimana sistem ranking diterapkan. Ranking
di kelas berarti secara gamblang memberikan informasi atas pencapaian
kognitif siswa di kelas. Hal ini bukanlah menjadi suatu masalah bagi
anak yang memiliki kemampuan kognitif yang baik tetapi bagaimana dengan
anak yang justru kecerdasannya bukan dikognitif, bagaimana perasaan anak
ketika misalnya ia mendapatkan ranking terakhir di kelas, bukankah
secara tidak langsung hal ini menimbulkan rasa minder, bodoh, bahkan
mungkin merasa menjadi siswa yang tidak berguna. Belum lagi ketika
ternyata keluarganya bukannya malah mensupport tetapi justru memojokan
anak sehingga melekatlah citra ‘produk gagal’. Lantas jika ini
terus-terusan berlanjut maka anak akan mencari ‘pelarian’, dimana anak
akan mencari lingkungan yang benar-benar dapat menerimanya dan tidak
menganggap dia sebagai ‘produk gagal’ yang tidak berguna. Maka tidaklah
heran kalau ternyata kini angka kenakalan remaja seperti free sex, geng
motor, tawuran, dll dikalangan usia sekolah tinggi.
Padahal menurut
Howard Gardner orang yang pertama mencetuskan istilah multiple
intelligences (kecerdasan majemuk). Konsep ini memperkenalkan bahwa
manusia belajar dan berhasil melalui berbagai kemampuan kecerdasan yang
tidak terukur oleh IQ. Menurut Gardner, definisi cerdas adalah
“Kemampuan memecahkan masalah atau kemampuan berkarya menghasilkan
sesuatu yang berharga untuk lingkungan sosial, budaya, atau
lingkungannya”. Gardner membagi kecerdasan kedalam 9 aspek yaitu:
picture smart (spasial) kemampuan tinggi dalam memvisualisasikan
fenomena dalam bentuk gambar, people smart (kecerdasan interpesonal)
kemampuan sosialisasi yang baik, ciri kecerdasan ini ialah mudah
menyelesaikan konflik dengan orang lain, body smart (kecerdasan
kinestik) cepat mempelajari dan menguasai kegiatan-kegiatan yang
melibatkan fisik, baik motorik kasar maupun halus, word smart
(kecerdasan bahasa) mampu mengekspresikan pikirannya secara verbal
maupun tulisan, self smart (kecerdasan intrapersonal) mudah mengenali
perasaan diri (puisi,drama,meditasi,menulis jurnal, dan bercerita),
sound Smart (kecerdasan musik), nature smart (kecerdasan mempelajari
alam) mempelajari fenomena alam (biologi), number smart (kecerdasan
logika matematika), spiritual smart (kecerdasan spiritual) menyadari
adanya saling keterkaitan antara dirinya dengan manusia lain, serta
lingkungannya, kemampuan berpikir dalam tentang makna hidup.
Anak-anak
yang mempunyai masalah dalam perkembangan emosi sosialnya akan
mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak dapat
mengontrol emosinya.Aspek kecerdasan emosi anak dapat membantu anak
dalam mengembangkan potensi-potensi lainnya secara lebih optimal. Bahkan
anak yang tadinya kelihatan agak terbelakang, dengan diberikan
perhatian dan lingkungan belajar yang kondusif untuk menumbuhkan
kepercayaan dirinya, dapat membuat anak tersebut mampu mengikuti
pelajaran sekolah dengan baik (Megawangi 2004).
Pertanyaanpun muncul, bukankah dengan diterapkannya sistem ranking anak akan terpacu untuk belajar lebih baik lagi dengan harapan anak dapat meraih prestasi sebaik mungkin. Ya itu memang betul, dengan diterapkannya sistem ranking maka akan menimbulkan persaingan sehingga setiap individu akan berlomba-lomba untuk mendapatkan hasil yang terbaik tetapi ingat ini hasil untuk apa dan untuk siapa, kalau toh ini hanya berpusat pada pencapaian dan keberhasilan individu maka jangan salahkan jika begitu banyak masyarakat kita yang memiliki sifat individualis yang tinggi (bukankah ketika Anda meraih tingkatan tertinggi Anda telah mengalahkan orang lain, dan untuk mempetahankan posisi Anda, Anda akan melakukan segala upaya untuk tetap mempertahankannya dan ketika posisi Anda beralih kepada orang lain Anda tidak senang dengan keberhasilan yang sekan-akan telah menggantikan’posisi’ Anda itu), tidak senang melihat keberhasilan orang lain, hingga yang paling parah adalah melakukan berbagai cara untuk mencapai hasil yang Anda inginkan dan hal ini terbukti dengan maraknya aksi mencontek dikalangan pelajar dan mahasiswa karena orientasi nilai dan pencapaian target akademik yang tinggi, sehingga belajar seakan-akan untuk kebutuhan nilai dan formalitas, bukan menelaah lebih dalam apa tujuan dari pelajaran yang diberikan dan yang terpenting adalah bagaimana relevansi antara apa yang didapatkan di sekolah/kampus dengan kehidupan nyata yang berada di sekitarnya. Lantas pertanyaannya sekarang sistem pendidikan apa yang semestinya diterapkan, kalau toh pada kenyataannya sistem pendidikan seperti ini memiliki efek yang buruk khususnya pada kecerdasan emosi siswa. Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan harus dapat menyiapkan manusia untuk dapat mengarungi kehidupan sesuai dengan jamannya. Beberapa pokok pikiran yang dapat dijadikan dasar untuk tujuan pendidikan adalah: menyiapkan individu sebagai lifelong learners (pembelajar sejati) dimana lifelong learners ini akan menyadari betul bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu sistem, dan dengan menyadari itu maka ia akan memberikan kontribusi terbaik untuk sistemnya, menyiapkan individu yang mempunyai komitmen terhadap perdamaian dan perwujudan dunia yang lebih baik, dan menyiapkan individu yang mempunyai daya saing tinggi dalam dunia kerja (jelaslah disini keberhasilan team work yang lebih diutamakan).Intinya adalah bagaimana suatu sistem pendidikan yang diterapkan bukan hanya mengangkat kecerdasan kognitif saja tetapi bagaimana sistem pendidikan tersebut dapat menjadikan manusia yang dapat menyeimbangkan body mind and soul . Potensi manusia yang harus dikembangkan melalui pendidikan adalah: aspek fisik,emosi, sosial, kreativitas, spiritual, dan akademik. Menurut Jeremy Henzell-Thomas (2004) “Membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran spiritual, moral, imajinasi, intelektual, budaya, estetika, emosi, dan fisik. Mengarahkan seluruh aspek tersebut kearah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan, yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan manusia di dunia”. Untuk itulah pendidikan holistik hadir. Pendidikan holistik mulai berkembang sekitar tahun 1960-1970. Sebagai akibat dari krisis ekologi, dampak nuklir, polusi kimia dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional beserta institusinya. Prinsip-prinsip pendidikan holistik hadir karena pada kenyataannya banyak siswa yang kesulitan dalam memahami arti (meaning), relevansi dan nilai (value) dari sekolah dan kehidupan, siswa tidak menemukan alasan tepat untuk menuntut ilmu sehingga ilmu yang dipelajari hanya diperuntukan untuk ujian, ujian bagus berarti masuk perguruan tinggi, setelah lulus kuliah terus kerja (apakah rangkaian tersebut merupakan alasan yang tepat untuk mempelajari suatu ilmu?).Tujuan pendidikan holistik yaitu bagaimana agar siswa siap menghadapi tantangan hidup termasuk akademik. Pendidikan holistik dengan prinsip dan konsep dasarnya yaitu connected, wholeness, dan being. Makna holistik dalam pendidikan mencangkup 3 aspek, yitu: holistic education, holistic curriculum, dan holistic learning. Dimana dalam pendidikan holistik mata pelajaran diberikan memiliki keterkaitan dengan yang lainnya serta relevan dalam kehidupan nyata. Dengan mata pelajaran yang saling terkait siswa dilatih agar tidak berpikir parsial, terkotak-kotak sehingga dapat memandang segala sesuatu secara utuh dan menyeluruh.Fitjrof Capra berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang sains, masyarakat, dan kebudayaan telah begitu terkotak-kotak, sehingga manusia tidak mampu melihat segala sesuatu secara keseluruhan dari setiap fenomena sehingga solusi untuk menyelesaikan permasalahanpun menggunakan pendekatan yang parsial, sehingga bukannnya menyelesaikan masalah tetapi justru memperumit masalah. Hal ini serupa dengan pendapat David Orr yang mengatakan bahwa isu-isu terbesar saat ini pasti berakar dari kegagalan kita untuk melihat segala sesuatu secara menyeluruh.Setiap manusia yang diciptakan Tuhan telah Tuhan bekali dengan mesin kecerdasan yang berbeda-beda. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk meraih kesuksesan dalam hidup. Tidak ada satupun manusia yang diciptakan Tuhan tanpa ada misi, Tuhan selalu memiliki maksud dan tujuan dalam setiap penciptanNya. Sekarang tugas kita adalah bagaimana membangun lingkungan kondusif untuk mencetak juara-juara masa depan yang bukan hanya suskses terhadap kehidupan pribadinya tetapi juga dapat memberikan kontribusi penuh terhadap sistemnya. Untuk itulah perlu adanya keseimbangan antara body mind and soul . Melalui pendidikan holistik maka akan lahirlah insan madani, insan kamil, insan paripurna yang menyadari betul bahwa tujuan akhir dari kehidupan ini adalah untuk Tuhan. Tidak ada manusia bodoh ataupun manusia yang tidak berguna, hanya tinggalah tugas kita sekarang adalah menemukan kuncinya, dan fokuslah pada kelebihannya bukan pada kelemahannya. Karena ternyata dalam penelitiannya George Boggs memaparkan bahwa kecerdasan kognitif hanya menyumbang sekitar 20% dari kesuksesan hidup, sementara sebanyak 80% ditentukan oleh kecerdasan emosi.
Daftar Pustaka
Megawangi, Ratna., R. Dona, Y. Florence, W.
Farrah Dina. (2004). Pengasuhan dan Pendidikan Anak yang Patut dan
Menyenangkan Untuk Anak Usia Dini (0 sampai 8 tahun): Penerapan teori
DAP, Pendidikan yang Patut Sesuai Dengan Tahapan Perkembangan Anak.
Depok : Indonesia Heritage Foundation.
Megawangi, Ratna. (2004). Pendidikan karakter. Depok : Indonesia Heritage Foundation.
Megawangi,
Ratna., M. Latifah.,W. Farrah Dina.(2008). Pendidikan Holistik:
Aplikasi Kurikulum Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Untuk
Menciptakan Lifelong Learners. Depok : Indonesia Heritage Foundation.
http://smagerreo.blogspot.com<a href="http://googleping.com">http://googleping.com</a>
<a href="http://online-casino.us.org">Online casino</a>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar