Selasa, 18 November 2014

artikel JURGEN HABERMAS SERTA PEMIKIRANNYA TENTANG RANAH PUBLIK

JURGEN HABERMAS SERTA PEMIKIRANNYA TENTANG RANAH PUBLIK (PUBLIC SPHERE)
By: Ino suhartono


Kehidupan Habermas

Jurgen Habermas adalah anggota generasi kedua Sekolah Frankfurt, yang merupakan figur paling terkemuka dan juga kontroversial, dalam dunia Perdebatan sosio-kritis dan filosofis Jerman. Ajaran Habermas banyak dipengaruhi gurunya, T.W. Adorno, namun Habermas juga banyak mengangkat berbagai isu bersama gurunya itu.

Habermas mengabdikan karya kehidupannya untuk membela dan mengklaim kembali proyek kritik pencerahan, atau apa yang disebutnya “wacana filosofis tentang modernitas.” Dalam karya awalnya, seperti Knowledge and Human Interests (1968), ia mengadopsi pendekatan yang dipengaruhi aliran Marxis dan Kantian secara meluas. Ia berusaha merekonstruksi genealogi ilmu pengetahuan kemanusiaan dan ilmu pengetahuan alam modern, dengan mempertanyakan kembali kondisi kemunculan ilmu-ilmu itu secara sosial, historis, dan epistemologis.

Karya Habermas sangat banyak. Namun, karena keterbatasan dan ketidaksanggupan makalah ini untuk membahas semuanya, maka bahasan di sini lebih dipusatkan ke karya Habermas yang berkaitan dengan ranah publik (public sphere).

Fokus pilihan ini penulis kira sangat relevan dengan konteks Indonesia, dengan makin tumbuhnya media elektronik (televisi) di berbagai kota, sejak era reformasi. Saat ini sedikitnya ada 11 stasiun TV yang bersiaran secara nasional. Belum lagi ditambah puluhan stasiun TV lokal, seperti TV Bali, TV Banten, Jak TV, dan sebagainya.

Sementara ada keterbatasan alokasi frekuensi bagi keberadaan media-media tersebut. Pada saat yang sama, banyak media TV dianggap belum menyajikan program-program yang mendidik dan bermanfaat bagi masyarakat. Sementara mereka memanfaatkan frekuensi yang terbatas (ranah publik) tersebut lebih untuk kepentingan komersial dirinya sendiri.

Riwayat Jurgen Habermas

Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf, North Rhine-Westphalia, Jerman. Ia adalah filsuf dan sosiolog Jerman dalam tradisi teori kritis dan pragmatisme Amerika. Ia mungkin paling dikenal berkat karyanya tentang konsep ranah publik, topik dan judul dari buku pertamanya.

Karya Habermas berfokus pada landasan-landasan teori sosial dan epistemologi, analisis masyarakat kapitalistik maju dan demokrasi, penegakan hukum (rule of law) dalam konteks sosial-evolusioner kritis, dan politik kontemporer—khususnya politik Jerman.

Sistem teoretis Habermas diabdikan untuk mengungkapkan kemungkinan nalar, emansipasi, dan komunikasi rasional-kritis --yang laten dalam institusi-institusi modern dan dalam kapasitas manusia-- untuk mempertimbangkan secara sungguh-sungguh dan mengejar kepentingan-kepentingan rasional.

Sampai kelulusannya dari gimnasium, Habermas tinggal di Gummersbach, dekat Cologne. Ayahnya, Ernst Habermas, adalah Direktur Eksekutif Kamar Dagang dan Industri Cologne. Jurgen Habermas belajar di Universitas Gottingen (1949/50), Zurich (1950/51), dan Bonn (1951-54) dan meraih doktor filsafat dari Bonn pada 1954, dengan disertasi berjudul das Absolute und die Geschichte. Von der Zwiepaltigkeit in Schellings Denken (Yang Absolut dan Sejarah: Tentang Kontradiksi dalam Pemikiran Schelling). Dari tahun 1956 dan seterusnya, ia belajar filsafat dan sosiologi di bawah pengusung teori kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut untuk Riset Sosial di Johann Wolfgang Goethe University, Frankfurt am Main. Namun, kemudian terjadi perselisihan antara dua tokoh itu tentang disertasi Habermas.

Adorno yang bangga pada Habermas, relatif lebih bisa menerima disertasi Habermas. Namun, Horkheimer, yang menganggap Habermas terlalu radikal, menuntut revisi-revisi yang tak bisa diterima oleh Habermas. Adanya perselisihan itu, serta keyakinan Habermas bahwa Sekolah Frankfurt sudah lumpuh oleh skeptisisme politik dan kemuakan pada budaya modern, membuat Habermas memilih menyelesaikan habilitasi (disertasi pasca-doktoral) dalam ilmu politik di Universitas Marburg, di bawah bimbingan tokoh Marxis, Wolfgang Abendroth.

Karya habilitasi Habermas berjudul Strukturwandel der Offentlichkeit; Untersuchungen zu einer Kategorie der Burgerlichen Gesellschaft (Transformasi Struktural Ranah Publik: Suatu Penyelidikan ke dalam Kategori Masyarakat Borjuis), yang terjemahan Inggrisnya terbit pada 1989.

Pada 1961, Habermas menjadi Privatdozent (dosen luar biasa) di Marburg, dan –dalam langkah yang amat tidak biasa bagi dunia akademis Jerman pada waktu itu—Habermas ditawari posisi “profesor luar biasa” ilmu filsafat di Universitas Heidelberg pada 1962. Tawaran itu ia terima. Pada 1964, Habermas dengan dukungan kuat dari Adorno, kembali ke Frankfurt untuk mengambil alih kursi Horkheimer dalam pengajaran filsafat dan sosiologi.

Habermas menerima posisi Direktur Institut Max Planck di Starnberg, dekat Munich, pada 1971, dan bekerja di sana sampai 1983, dua tahun setelah terbitnya karya utamanya, The Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif). Habermas lalu kembali ke kursinya di Frankfurt dan jabatan Direktur Institut Riset Sosial.

Sejak berhenti (pensiun) dari Frankfurt pada 1993, Habermas terus menerbitkan karyanya secara meluas. Pada 1986, ia menerima Penghargaan Gottfried Wilhelm Leibniz dari Deutsche Forschungsgemeinschaft, yang merupakan bentuk penghargaan tertinggi untuk riset di Jerman. Habermas juga memegang jabatan profesor “tamu permanen” di Northwestern University di Evanston, Illinois, dan “Profesor Theodor Heuss” di The New School, New York, Amerika.

Habermas mengunjungi Republik Rakyat Cina pada April 2001. Ia juga menjadi penerima Penghargaan Kyoto 2004 dalam bidang Seni dan Filsafat. Ia berkunjung ke San Diego, dan pada 5 Maret 2005 –sebagai bagian dari Simposium Kyoto yang diadakan oleh Universitas San Diego—memberikan ceramah berjudul “Peran Publik Agama dalam Konteks Sekuler.” Ceramah ini berkaitan dengan evolusi pemisahan Gereja dan Negara, dari netralitas ke sekularisme yang intens. Habermas menerima penghargaan Holberg International Memorial Prize pada 2005.

Habermas tentang Ranah Publik

Dalam bukunya, Transformasi Struktural Ranah Publik, Habermas mengembangkan konsepnya yang berpengaruh, tentang ranah publik. Karya Habermas ini sangat kaya dan memberi dampak besar pada berbagai disiplin ilmu. Buku ini juga menerima berbagai kritik yang rinci, membuka wawasan, serta mendorong munculnya diskusi-diskusi yang sangat produktif, antara lain tentang demokrasi liberal, masyarakat sipil, kehidupan publik, dan perubahan-perubahan sosial pada abad ke-20.

Dalam buku itu, dengan menggeneralisasi perkembangan-perkembangan di Inggris, Perancis, dan Jerman pada penghujung abad ke-18 dan ke-19, Habermas pertama membuat sketsa sebuah model yang disebutnya “ranah publik borjuis.” Ia kemudian juga menganalisis kemunduran ranah publik ini pada abad ke-20.

Ranah publik borjuis, yang mulai muncul pada sekitar tahun 1700 dalam penafsiran Habermas, adalah berfungsi untuk memperantarai keprihatinan privat individu dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan keluarga, yang dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan dan keprihatinan dari kehidupan sosial dan publik.

Ini mencakup fungsi menengahi kontradiksi antara kaum borjuis dan citoyen (kalau boleh menggunakan istilah yang dikembangkan oleh Hegel dan Marx awal), mengatasi kepentingan-kepentingan dan opini privat, guna menemukan kepentingan-kepentingan bersama, dan untuk mencapai konsensus yang bersifat sosial.

Ranah publik di sini terdiri dari organ-organ informasi dan perdebatan politik, seperti suratkabar dan jurnal. Serta institusi diskusi politik, seperti parlemen, klub politik, salon–salon sastra, majelis publik, tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, dan ruang-ruang publik lain, di mana diskusi sosio-politik berlangsung.

Konsep ranah publik yang diangkat Habermas ini adalah ruang bagi diskusi kritis, terbuka bagi semua orang. Pada ranah publik ini, warga privat (private people) berkumpul untuk membentuk sebuah publik, di mana “nalar publik” tersebut akan bekerja sebagai pengawas terhadap kekuasaan negara.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, individu dan kelompok dapat membentuk opini publik, memberikan ekspresi langsung terhadap kebutuhan dan kepentingan mereka, seraya mempengaruhi praktik politik. Ranah publik borjuis memungkinkan terbentuknya area aktivitas opini publik, yang menentang kekuasaan negara yang opresif, serta kepentingan-kepentingan kuat yang membentuk masyarakat borjuis.

Prinsip-prinsip ranah publik melibatkan suatu diskusi terbuka tentang semua isu yang menjadi keprihatinan umum, di mana argumentasi-argumentasi diskursif (bersifat informal, dan tidak ketat diarahkan ke topik tertentu) digunakan untuk menentukan kepentingan umum bersama. Ranah publik dengan demikian mengandaikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan.

Sesudah terjadinya revolusi-revolusi demokratis, Habermas menyarankan, agar ranah publik borjuis ini dilembagakan dalam aturan konstitusional, yang menjamin hak-hak politik secara meluas. Serta, mendirikan sistem yudisial untuk menengahi klaim-klaim antara berbagai individu atau berbagai kelompok, atau antara individu dan kelompok dan negara.

Dalam konsep Habermas, media dan ranah publik berfungsi di luar sistem politis-kelembagaan yang aktual. Fungsi media dan ranah publik ini sebagai tempat diskusi, dan bukan sebagai lokasi bagi organisasi, perjuangan, dan transformasi politik.

Dalam bukunya itu, Habermas juga mengkontraskan berbagai bentuk ranah publik borjuis. Mulai dari ranah publik yang bersifat partisipatoris dan aktif di era heroik demokrasi liberal, sampai dengan bentuk-bentuk ranah publik yang lebih privat dari pengamat politik dalam masyarakat industri birokratis. Pada masyarakat semacam itu, kalangan media dan elite mengontrol ranah publik.

Kemerosotan Ranah Publik

Sesudah menyatakan gagasan tentang ranah publik borjuis, opini publik, dan publisitas, Habermas menganalisis struktur sosial, fungsi-fungsi politis, dan konsep serta ideologi ranah publik. Kemudian, Habermas menggambarkan transformasi sosial-struktural ranah publik, perubahan-perubahan dan fungsi publiknya, serta pergeseran-pergeseran dalam konsep opini publik dalam tiga bab penyimpulan.

Dua tema utama dari buku Habermas itu mencakup analisis kelahiran historis ranah publik borjuis, yang diikuti dengan ulasan tentang perubahan struktural ranah publik di era kontemporer. Habermas menganalisis kemerosotan ranah publik itu pada abad ke-20.

Yaitu, dengan bangkitnya kapitalisme negara, industri budaya, dan posisi yang semakin kuat di pihak perusahaan ekonomi dan bisnis besar dalam kehidupan publik. Dalam ulasannya ini, ekonomi besar dan organisasi pemerintah telah mengambil alih ruang publik, di mana warga negara hanya diberi kepuasan untuk menjadi konsumen bagi barang, layanan, administrasi politik, dan pertunjukan publik.

Menurut Habermas, berbagai faktor akhirnya mengakibatkan kemerosotan ranah publik. Salah satu faktor itu adalah pertumbuhan media massa komersial, yang mengubah publik menjadi konsumen yang pasif. Mereka menjadi tenggelam dalam isu-isu yang bersifat privat, ketimbang isu-isu yang menyangkut untuk kebaikan bersama dan partisipasi demokratis.

Faktor lain, adalah munculnya negara kesejahteraan, yang menyatukan negara dan masyarakat sebegitu mendalam, sehingga ranah publik menjadi tertekan habis. Negara mulai memainkan peran yang lebih fundamental dalam kehidupan sehari-hari dan lingkungan aktivitas privat, sehingga mengikis perbedaan antara negara dan masyarakat sipil, serta antara ranah publik dan privat.

Faktor-faktor ini juga mengubah “ranah publik” menjadi sebuah situs bagi kontestasi atas sumber-sumber negara, yang lebih ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, ketimbang menjadi ruang bagi pengembangan konsensus rasional yang mendahulukan kepentingan publik.

Menurut analisis Habermas, dalam ranah publik borjuis, opini publik dibentuk oleh konsensus dan perdebatan politik. Sedangkan dalam ranah publik yang sudah merosot kualitasnya di kapitalisme negara kesejahteraan (welfare state capitalism), opini publik diatur oleh para elite politik, ekonomi, dan media, yang mengelola opini publik sebagai bagian dari manajemen sistem dan kontrol sosial.

Jadi, pada tahapan yang lebih awal dari perkembangan borjuis, opini publik dibentuk dalam debat politik terbuka, berkaitan dengan kepentingan umum bersama, dalam upaya membentuk sebuah konsensus yang menghargai kepentingan umum. Sebaliknya, dalam tahapan kapitalisme kontemporer, opini publik dibentuk oleh kalangan elite yang dominan, dan dengan demikian sebagian besar mewakili kepentingan privat partikular mereka.

Tidak ada lagi konsensus rasional di antara para individu dan kelompok, demi kepentingan artikulasi kebaikan bersama, yang dijadikan sebagai norma. Sebaliknya, yang terjadi adalah pertarungan di antara berbagai kelompok untuk memajukan kepentingan privat mereka sendiri, dan inilah yang menjadi ciri panggung politik kontemporer.

Karena itu, Habermas menjabarkan transisi dari ranah publik liberal, yang berasal dari Pencerahan (Enlightenment) serta revolusi Amerika dan Perancis, ke ranah publik yang didominasi media di era masa sekarang, yang disebutnya “kapitalisme negara kesejahteraan dan demokrasi massa.”

Transformasi historis ini, sebagaimana bisa kira catat, didasarkan pada analisis Horkheimer dan Adorno tentang industri budaya. Yakni, kondisi di mana perusahaan-perusahaan raksasa mengambil alih ranah publik, dan mengubah ranah publik itu dari ranah perdebatan rasional menjadi ranah konsumsi yang manipulatif dan pasifitas.

Dalam transformasi ini, “opini publik” bergeser dari konsensus rasional yang muncul dari debat, diskusi, dan refleksi, menjadi opini yang direkayasa lewat jajak pendapat atau pakar media. Jadi, perdebatan rasional dan konsensus telah digantikan oleh diskusi yang diatur dan manipulasi lewat mekanisme periklanan dan badan-badan konsultasi politik.

Bagi Habermas, fungsi media dengan demikian telah diubah dari memfasilitasi wacana dan perdebatan rasional dalam ranah publik, menjadi membentuk, mengkonstruksi, dan membatasi wacana publik ke tema-tema yang disahkan dan disetujui oleh perusahaan-perusahaan media. Maka, saling-hubungan antara ranah debat publik dan partisipasi individu sudah patah, dan berubah bentuk ke dalam lingkungan aktivitas informasi politik atau pertunjukan publik. Dalam lingkungan semacam itu, warga-konsumen menyerap dan mencernakan hiburan dan informasi secara pasif.

“Warga negara” dengan demikian sekadar menjadi penonton pertunjukan dan wacana media, yang membentuk opini publik, dan menurunkan derajat konsumen/warganegara itu menjadi sekadar obyek bagi berita, informasi, dan urusan-urusan publik.

Dalam magnum opusnya, The Theory of Communicative Action (1981), Habermas mengeritik proses modernisasi sepihak, yang dipimpin oleh kekuatan-kekuatan rasionalisasi ekonomi dan administratif. Habermas memandang, intervensi yang semakin meningkat dari sistem formal terhadap kehidupan kita sehari-hari, itu sejalan dengan pertumbuhan negara kesejahteraan, kapitalisme korporat, dan budaya konsumsi massa.

Kecenderungan yang semakin kuat ini telah memberi pembenaran bagi perluasan area kehidupan publik, dan menundukkan mereka di bawah logika pukul rata tentang efisiensi dan kontrol.
Partai-partai politik, yang diregulerkan, dan kelompok-kelompok kepentingan telah menjadi pengganti dari demokrasi partisipatoris. Masyarakat pun semakin diatur pada tingkatan yang jauh dari masukan warga negara. Akibatnya, batas-batas antara publik dan privat, antara individu dan masyarakat, serta antara sistem dan dunia kehidupan, semakin memudar.

Proyek Habermas tentang ranah publik itu menggunakan berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat, teori sosial, ekonomi, dan sejarah, dan dengan demikian merintis gaya Institut untuk Riset Sosial, dalam menghasilkan teori sosial supradisiplin. Pandangan historis proyek ini lalu menjadi landasan bagi proyek-proyek yang dilakukan Institut tersebut, untuk pengembangan teori kritis era kontemporer.

Aspirasi politik Habermas telah memposisikannya sebagai pengkritik atas kemerosotan demokrasi di masa sekarang, dan imbauan bagi pembaruan demokrasi. Ini adalah tema-tema yang tetap bersifat sentral dalam pemikiran Habermas.

Kehidupan publik demokratis hanya berkembang subur, manakala institusi-institusi memungkinkan warga negara, untuk memperdebatkan masalah-masalah yang menjadi kepentingan publik. Habermas menggambarkan jenis ideal dari “situasi bicara ideal” (ideal speech situation), adalah ketika para aktor secara setara dibekali dengan kapasitas wacana, mengakui persamaan sosial dasar antara satu dengan yang lain, dan pembicaraan mereka tidak terdistorsi oleh ideologi atau salah pengenalan (misrecognition).

Habermas optimistis tentang kemungkinan menghidupkan kembali ranah publik. Ia melihat harapan bagi masa depan di era baru komunitas politik, yang melampaui negara-bangsa yang berbasis pada kesamaan etnik dan budaya, menuju ke arah negara yang berdasarkan pada hak-hak setara dan kewajiban warga negara yang melekat secara hukum.

Teori diskursif tentang demokrasi ini mensyaratkan komunitas politik, yang secara kolektif dapat merumuskan kehendak politiknya, dan mengimplementasikan kehendak politik itu menjadi kebijakan di tingkatan sistem legislatif. Sistem politik ini mensyaratkan sebuah ranah publik aktivis, di mana hal-hal yang menjadi kepentingan bersama dan isu-isu politik dapat didiskusikan, dan kekuatan opini publik dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan.

Beberapa kritik terhadap Habermas

Sejumlah akademisi telah melontarkan berbagai kritik terhadap pernyataan Habermas tentang ranah publik. John B. Thompson, pengajar sosiologi di Universitas Cambridge, menunjukkan bahwa pernyataan Habermas tentang ranah publik itu kini menjadi usang, jika kita melihat penyebaran komunikasi media massa.

Sedangkan Michael Schudson dari Universitas California, San Diego, memberi argumen yang lebih umum. Ia menyatakan, ranah publik sebagai tempat perdebatan independen yang murni rasional –seperti disebutkan Habermas-- adalah tidak pernah ada.

Sejumlah pengeritik menyatakan, Habermas terlalu mengidealisasi ranah publik borjuis di tahap-tahap awal, dengan menjabarkannya sebagai forum diskusi dan debat yang rasional. Padahal, faktanya, kelompok-kelompok tertentu telah disisihkan dari forum tersebut, dan dengan demikian partisipasi juga dibatasi. Habermas sendiri kemudian mengakui bahwa ranah publik yang disebutkannya waktu itu memang lebih sebagai “jenis ideal,” dan bukan ideal normatif yang mau dibangkitkan lagi dari ambang kematian.

Memang, Habermas terkesan agak mengidealisasi ranah publik borjuis sebelumnya. Meskipun konsep ranah publik dan demokrasi mengasumsikan adanya perayaan liberal dan populis tentang keanekaragaman (diversitas), toleransi, perdebatan, dan konsensus, pada kenyataannya ranah publik borjuis didominasi oleh kaum pria, pemilik properti, yang berkulit putih. Ranah publik kelas pekerja, kaum perempuan, dan warga kelas bawah lain, yang berkembang seiring dengan ranah publik borjuis untuk mewakili suara dan kepentingan kelas bawah, disisihkan dari forum ranah publik borjuis tersebut.

Oskar Negt dan Alexander Kluge mengeritik Habermas, karena mengabaikan ranah-ranah publik kaum proletar dan masyarakat kelas bawah. Dalam refleksinya, Habermas menulis bahwa ia sekarang menyadari “sejak dari awal, publik borjuis yang dominan berbenturan dengan publik kelas bawah,” dan bahwa ia telah “meremehkan” signifikansi ranah-ranah publik yang non-borjuis dan bersifat oposisional.

Maka, daripada membayangkan adanya sebuah ranah publik yang demokratis atau liberal, adalah lebih produktif untuk membuat teori tentang berbagai macam ranah publik, yang kadang-kadang tumpang-tindih namun juga bertentangan. Ini mencakup juga ranah-ranah publik dari kelompok-kelompok yang disisihkan, serta konfigurasi-konfigurasi yang lebih mewakili arus utama (mainstream). Ranah publik itu sendiri bergeser dengan bangkitnya gerakan-gerakan sosial baru, teknologi baru, dan ruang-ruang baru bagi interaksi publik, seperti Internet.

Sedangkan Mary Ryan mencatat adanya ironi bahwa bukan saja Habermas telah mengabaikan ranah publik kaum perempuan. Namun, Habermas juga menandai kemerosotan ranah publik persis pada momen ketika kaum perempuan mulai mendapatkan kekuasaan politik dan menjadi aktor.

Vitalitas ranah publik kaum perempuan memang terjadi pada abad ke-19 di Amerika. Terlihat dengan adanya usaha-usaha pengorganisasian oleh Susan B. Anthony, Elizabeth Cary Stanton, dan lain-lain dari tahun 1840-an sampai masuk abad ke-20, dalam suatu perjuangan yang berkelanjutan, demi memperoleh hak-hak memberi suara dalam pemilu dan hak-hak kaum perempuan.

Selain kritik-kritik di atas, juga diragukan, apakah politik demokratis pernah disemangati oleh norma rasionalitas atau opini publik, yang dibentuk lewat konsensus dan perdebatan rasional, sampai ke tahapan ciri-ciri (ideal) konsep Habermas tentang ranah publik borjuis. Politik di sepanjang era modern selalu menjadi permainan kepentingan dan kekuasaan, serta diskusi dan perdebatan.

Mungkin hanya sedikit masyarakat borjuis Barat yang telah mengembangkan ranah publik dalam ciri-ciri ideal yang dinyatakan Habermas. Meskipun patut dihargai, usaha mengkonstruksi model masyarakat yang baik, yang bisa membantu mewujudkan nilai-nilai egalitarian dan demokratis yang disepakati, adalah suatu kekeliruan jika kita berlebih-lebihan mengidealisasi dan menguniversalkan suatu ranah publik spesifik, sebagaimana yang dilakukan Habermas.

Proyek Habermas juga dilemahkan oleh pembedaan atau pembagian kategoris yang terlalu kaku, antara ranah publik liberal klasik dan ranah publik kontemporer; antara sistem dan dunia kehidupan; dan antara produksi dan interaksi. Konsepsi-konsepsi dualistik seperti itu sendiri telah dinafikan oleh revolusi teknologi, di mana media dan teknologi memainkan peran vital di kedua sisi dari pembagian kategoris Habermas, dan dengan demikian merusak pembagian tersebut.

Pembedaan-pembedaan itu juga mengesampingkan usaha-usaha untuk mentransformasikan sisi pembedaan Habermas, yang ia anggap sulit diubah atau dipengaruhi, untuk kepentingan demokratis yang harus dilakukan, atau norma-norma tindakan komunikatif.

Dari sudut pandang perumusan teori ranah publik, misalnya, Habermas menyatakan, dari saat pengembangan pembedaan ini, “Saya menganggap aparat negara dan ekonomi adalah lahan-lahan tindakan yang terintegrasi secara sistematik, yang tidak bisa lagi ditransformasikan secara demokratis dari dalam,…tanpa merusak logika sistem mereka yang ada dan kemampuannya untuk berfungsi.”

Douglas Kellner beranggapan, pada masyarakat teknologi-tinggi kontemporer, muncul perumusan ulang dan perluasan ranah publik, yang melampaui konsep Habermas. Ranah publik adalah tempat bagi informasi, diskusi, kontestasi, perjuangan politik, dan organisasi, yang mencakup media siaran dan ruang maya (cyberspace) baru, serta interaksi face-to-face dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan-perkembangan ini, yang terutama berhubungan dengan teknologi multimedia dan komputer, menuntut perumusan ulang dan perluasan konsep ranah publik.

Meski dengan adanya beberapa kekurangan tersebut, analisis Habermas telah berjasa dalam memfokuskan perhatian kita pada hakikat dan transformasi struktural ranah publik, serta fungsi-fungsinya dalam masyarakat kontemporer.

Analisis Habermas ini perlu dikembangkan, dengan memperhitungkan revolusi teknologi dan restrukturisasi kapitalisme global, yang terjadi saat ini. Serta, meninjau ulang teori kritis tentang masyarakat dan politik demokratis, dengan melihat perkembangan-perkembangan tersebut di atas. ***

Referensi:
• Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New York: Oxford University Press.
• Kellner, Douglas. Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical Intervention (lihat: http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/papers/ habermas.htm dan http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/kellner.html)

(Makalah Satrio Arismunandar, untuk kuliah DR. Akhyar Yusuf Lubis, di program S-3 Ilmu Filsafat, FIB-UI, Oktober 2008)

Sosiolinguistik


                                                                   KERANGKA TEORI


A. SOSIOLINGUISTIK

A.1 Pengertian Sosiolinguistik

Sosiolinguistik bersasal dari kata “sosio” dan “ linguistic”. Sosio sama

dengan kata sosial yaitu berhubungan dengan masyarakat. Linguistik adalah ilmu

yang mempelajari dan membicarakan bahasa khususnya unsur- unsur bahasa dan

antara unsur- unsur itu.Jadi, sosiolinguistik adalah kajian yang menyusun teori-

teori tentang hubungan masyarakat dengan bahasa. Berdasarkan pengertian

sebelumnya, sosiolinguistik juga mempelajari dan membahas aspek –aspek

kemasyarakatan bahasa khususnya perbedaan- perbedaan yang terdapat dalam

bahasa yang berkaitan dengan faktor- faktor kemasyarakatan ( Nababan 1993:2).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik

tidak hanya mempelajari tentang bahasa tetapi juga mempelajari tentang aspek-

aspek bahasa yang digunakan oleh masyarakat.

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dengan

linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan erat. Sosiologi

merupakan kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam

masyarakat, lembaga- lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat.

Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung,

dan tetap ada. Dengan mempelajari lembaga- lembaga, proses social dan segala

masalah social di dalam masyarakat, akan diketahui cara- cara manusia






6



7



menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bagaimana mereka bersosialisasi, dan

menempatkan diri dalam tempatnya masing- masing di dalam masyarakat.

Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari tentang bahasa, atau

ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisipliner yang

mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam

masyarakat (Chaer dan Agustina 2003: 2). Dari uraian diatas dapat disimpulkan

bahwa sosiolinguistik adalah antardisipliner yang mempelajari bahasa dalam

kaitannya dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan tersebut.

Selain sosiolinguistik ada juga digunakan istilah sosiologi bahasa. Banyak

yang menganggap kedua istilah itu sama, tetapi ada pula yang menganggapnya

berbeda. Ada yang mengatakan digunakannya istilah sosiolinguistik karena

penelitiannya dimasukii dari bidang linguistik, sedangkan sosiologi bahasa

digunakan kalau penelitian itu dimasuki dari bidang sosiologi.

Fishman (dalam Chaer 2003: 5) mengatakan kajian sosiolinguistik lebih

bersifat kualitatif.Jadi sosiolinguistik berhubungan dengan perincian- perincian

penggunaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian

bahasa atau dialek tertentu yang dilakukan penutur, topic, latar pembicaraan.

Sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem

komunikasi serta bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu.Sedangkan

yang dimaksud dengan pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang


terjadi dalam situasi konkrit. Berdasarkan beberapa


uraian diatas dapat



8



disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti mempelajari tentang bahasa yang

digunakan dalam daerah tertentu atau dialek tertentu.

Ditinjau dari nama, sosiolingustik menyangkut sosiologi dan linguistik,

karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kedua kajian

tersebut. Sosio adalah masyarakat, dan linguistik adalah kajian bahasa.Jadi kajian

sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi

kemasyarakatan (Sumarsono 2004:1). Berdasarkan beberapa uraian diatas dapat

disimpulkan bahwa sosiolinguistik berarti ilmu yang mempelajari tentang bahasa

yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat tertentu.

Sosiolinguistik cenderung memfokuskan diri pada kelompok sosial serta

variabel linguistik yang digunakan dalam kelompok itu sambil berusaha

mengkorelasikan variabel tersebut dengan unit- unit demografik tradisional pada


ilmu-ilmu


sosial,


yaitu


umur,


jenis


kelamin,


kelas


sosio-


ekonomi,


pengelompokan regioanal, status dan lain- lain. Bahkan pada akhir-akhir ini juga

diusahakan korelasi antara bentuk-bentuk linguistik dan fungsi- fungsi sosial

dalam interaksi intra-kelompok untuk tingkat mikronya, serta korelasi antara

pemilihan bahasa dan fungsi sosialnya dalam skala besar untuk tingkat makronya

(Ibrahim, 1995:4). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik

adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang memfokuskan diri pada

kelompok sosial serta variabel linguistik.

Alwasilah (1993:3-5) menjelaskan bahwa secara garis besar yang

diselidiki oleh sosiolingustik ada lima yaitu macam-macam kebiasaan

(convention) dalam mengorganisasi ujaran dengan berorientasi pada tujuan-



9



tujuan social studi bagaimana norma- norma dan nilai- nilai sosial mempengaruhi

perilaku linguistik. Variasi dan aneka ragam dihubungkan dengan kerangka sosial

dari para penuturnya, pemanfaatan sumber-sumber linguistik secara politis dan

aspek- aspek sosial secara bilingualisme.

Sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan

organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup perilaku bahasa saja,

melainkan juga sikap-sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan pemakaian

bahasa.Dalam sosiolingustik ada kemungkinan orang memulai dari masalah

kemasyarakatan kemudian mengaitkan dengan bahasa, tetapi bisa juga berlaku

sebaliknya mulai dari bahasa kemudian mengaitkan dengan gejala-gejala

kemasyarakatan.

Sosiolinguistik dapat mengacu pada pemakian data kebahasaan dan

menganalisis kedalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut kehidupan sosial, dan

sebaliknya mengacu kepada data kemasyarakatan dan menganalisis ke dalam

linguistik. Misalnya orang bisa melihat dulu adanya dua ragam bahasa yang

berbeda dalam satu bahasa kemudian mengaitkan dengan gejala sosial seperti

perbedaan jenis kelamin sehingga bisa disimpulkan, misalnya ragam (A)

didukung oleh wanita ragam (B) didikung oleh pria dalam masyarakat itu. Atau

sebaliknya, orang bisa memulai dengan memilah masyarakat berdasarkan jenis

kelamin menjadi pria- wanita, kemudian menganalisis bahasa atau tutur yang bisa

dipakai wanita atau tutur yang bisa dipakai pria.

Trudgill (dalam Sumarsono 2004: 3) mengungkapkan sosiolinguistik

adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala sosial



10



dan gejala kebudayaan.Bahasa bukan hanya dianggap sebagai gejala sosial

melainkan juga gejala kebudayaan.Implikasinya adalah bahasa dikaitkan dengan

kebudayaan masih menjadi cakupan sosiolinguistik, dan ini dapat dimengerti

karena setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan tertentu.

Sebagai anggota masyarakat sosiolinguistik terikat oleh nilai-nilai budaya

masyarakat, termasuk nilai-nilai ketika dia menggunakan bahasa. Nilai selalu

terkait dengan apa yang baik dan apa yang tidak baik, dan ini diwujudkan dalam

kaidah- kaidah yang sebagian besar tidak tertulis tapi dipatuhi oleh warga

masyarakat. Apa pun warna batasan itu, sosiolinguistik itu meliputi tiga hal, yakni

bahasa, masyarakat, dan hubungan antara bahasadan masyarakat.

Berdasarkan batasan-batasan tentang sosiolinguistik di atas dapat

disimpulkan bahwa sosiolinguistik itu meliputi tiga hal, yakni bahasa, masyarakat,

dan hubungan antara bahasa dengan masyarakat. Sosiolinguistik membahas atau

mengkaji bahasa sehubungan dengan penutur ,bahasa sebagai anggota asyarakat.

Bagaimana bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi antara anggota masyarakat

yang satu dengan yang lainnya untuk saling bertukar pendapat da berinteraksi

antara individu satu dengan lainnya.




A.2 Variasi Bahasa

Di dalam Linguistik, bahasa tidak hanya dipahami sebagai tanda saja tetapi

juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi, dan sebagai bagian dari

kebudayaan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, dalam penelitian yang



11




berdasarkan




ancangan




sosiolinguistik




akan




memperhitungkan




bagaimana


pemakaiannya di dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial.

Maryono (2002: 18) membagi wujud variasi bahasa berupa idiolek, dialek,

tingkat tutur (speech levels), ragam bahasa dan register. Penjelasan kelima variasi

bahasa tersebut dapat dijelaskan seperti berikut :

1. Idiolek merupakan variasi bahasa yang sifatnya individual, maksudnya sifat

khas tuturan seseorang berbeda dengan tuturan orang lain.

Contoh : bahasa yang dapat dilihat melalui warna suara.

2. Dialek merupakan variasi bahasa yang dibedakan oleh perbedaan asal penutur

dan perbedaan kelas sosial penutur, oleh karena itu, muncul konsep dialek

geografis dan dialek sosial (sosiolek)

Contoh :enyongberarti saya yang digunakan di daerah tertentu yaitu daerah

banyumasan.

3. Tingkat tutur (speech levels) merupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh

adanya perbedaan anggapan penutur tentang relasinya dengan mitra tutur.


Contoh


: kita memberikan sesuatu pada orang yang lebih tua


menggunakan bahasa yang berbeda dengan kita memberikan kepada teman

yang sebaya.

4. Ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh adanya

perbedaan dari sudut penutur, tempat, pokok turunan dan situasi. Dalam kaitan

dengan itu akhirnya dikenal adanya ragam bahasa resmi (formal) dan ragam

;bahasa tidak resmi (santai, akrab)



12



Contoh : formal “ingkang kula urmati” biasanya terdapat pada pembukaan

pidato.

Santai atau akrab :“nuwun yo” mengucapkan terimakasih pada teman sebaya

yang sudah akrab.

5. Register merupakan variasi bahasa yang disebabkan oleh adanya sifat-sifat

khas keperluan pemakainya, misalnya bahasa tulis terdapat bahasa iklan,

bahasa tunjuk, bahasa artikel, dan sebagainya, dalam bahasa lisan terdapat

bahasa lawak, bahasa politik, bahasa doa, bahasa pialang dan sebagainya.

Contoh :“ijuk” adalah tambang yang dipasang di dinding goa yang digunakan

untuk menyebrang.




A. Register

Konsep- konsep mengenai register yang digunakan sebagai acuan dalam

penyusunan skripsi diterangkan dibawah ini, pertama adalah pengertian register

dan yang kedua adalah bentuk register.Register merupakan ragam bahasa yang

dipergunakan untuk maksud tertentu, sebahagai kebalikan dari dialek sosial atau

regional ( yang bervariasi karena penuturnya) register ini dapat dibatasi menjadi

lebih sempit dengan acuan pada pokok ujaran, pada media atau pada tingkat

keformalan (Harman dan Stork dalam Alwasilah 1993 : 53).

Register menurut Halliday (1994 :54) merupakan konsep semantik yang

dapat didefinisikan sebagai suatu susunan makna yang dihubungkan secara

khusus dengan susunan tertentu dari medan, pelibat, dan sarana. Ungkapan



13



susunan makna register termasuk juga ungkapan dari ciri leksiko gramatis da

fonologis yang secara khusus menyertai atau menyatakan makna- makna.

Register merupakan ragam bahasa berdasarkan pemakaianya, yaitu bahasa

yang digunakan tergantung pada apa yang sedang dikerjakan dan sifat

kegiatannya. Register mencerminkan aspek lain dari tingkat sosial, yaitu proses

sosial yang merupakan proses macam- macam kegiatan sosial yang biasanya

melibatkan orang. Register merupakan bentuk makna khususnya dihubungkan

dengan konteks sosial tertentu, yang di dalamnya banyak kegiatan dan sedikit

percakapan, yang kadang- kadang sering disebut dengan bahasa tindakan.

Register dipahami sebagai konsep semantik yaitu sebagai susunan makna

yang dikaitkan secara khusus dengan susunan situasi tertentu. Konsep situasi

menurut Halliday mengacu pada tiga hal, yaitu (1) medan (field), (2) pelibat

(tenor), (3) sarana (mode). Medan mengacu pada hal yang sedang terjadi atau

pada saat tindakkan berlangsung, apa sesungguhnya yang sedang disebutkan oleh

para pelibat (bahasa termasuk sebagai unsur pokok tertentu). Pelibat menunjukan

pada orang yang turut mengambil bagian, sifat para pelibat, kedudukan dan peran

mereka.Sarana menunjuk pada peranan yang diambil bahasa dalam situasi

tertentu, seperti bersifat membunjuk, menjelaskan, mendidik, dan sebagainya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa sosiolinguistik menjelaskan konsep register

secara lebih sempit, yakni mengacu pada pemakaian kosakata khusus yang

berkaitan dengan kelompok pekerjaan yang berbeda. Di samping itu register juga

merupakan variasi bahasa yang berbeda satu dengan lainnya karena kekhasan

penggunannya. Berdasarkan pada situasi pemakaiannya Chaer (1995 : 90)



14



menyatakan register merupakan variasi bahasa menurut pemakaiannya yang

digunakan oleh sekelompok orang atau masyarakat tertentu sesuai dengan profesi

dan perhatian yang sama.

Maryono (2002 :18) menyebutkan register merupakan variasi bahasa yang

disebabkan oleh adanya sifat- sifat khas keperluan pemakaianya, misalnya bahasa

tulis terdapat bahasa iklan, bahasa tunjuk, bahasa artikel, dan sebagainya, dalam

bahasa lisan terdapat bahasa lawak, bahasa politik, bahasa doa, bahasa pialang dan

sebagainya.Ferguson (dalam Purnanto 2002 :21) berpendapat register adalah

situasi komunikasi yang terjadi berulang secara teratur dalam suatu masyarakat

(yang berkenaan dengan partisipan, tempat, fungsi- fungsi komunikatif, dan

seterusnya) sepanjang waktu cenderung akan berkembang menandai struktur

bahasa dan pemakaian bahasa yang berbeda dengan pemakaian bahasa pada

situasi komunikasi yang lain.

Register sering dihubungkan dengan masalah dialek jika dialek berkenaan

dengan bahasa yang digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan, maka register

berkenaan dengan bahasa itu dugunakan untuk kegiatan apa. Masyarakat di daerah

tertentu memiliki dialek yang berbeda dengan daerah lain. Meskipun demikian,

ada berbagai macam register yang muncul.Regiater tersebut disebabkan kegiatan

masyarakat yang bermacam-macam.

Alwasilah (1985:22) mengatakan bahwa penggunaan bahasa yang khas

dalam linguistik disebut linguistik. Adi Sumartono (1993:24) mengatakan bahwa

register merupakan perangkat makna pengguna bahasa dengan makna dan tujuan

yang relevan dengan fungsi, bahasa secara khusus. Fungsi tersebut meliputi kata-



15



kata, penggunaan istilah dan idiom-idiom, pilihan struktur, ragam lisan atau

tulisan-tulisan dan gaya wacana.

Pengertian register menurut wilkins (dalam pateda, 1990:60) bahwa

register adalah ragam pemakaian bahasa yang dihubungkan dengan pekerjaan

seseorang. Register dibedakan dalam jenis-jenis berikut:

1. oratorical atau frozen (baku)

yaitu register yang digunakan oleh pembicara yang profesional karena pola

dan kaidahnya sudah mantap, biasanya digunakan pada situasi yang khidmad,

seperti pada mantra, undang-undang, kitab suci, dan lain sebagainya.

2. deliberative atau formal

yaitu register yang digunkan pada situasi resmi sesuai dengan tujuan untuk

memperluas pembicaraan yang disengaja, misalnya pidato kenegaraan,

peminangan, dan sebagainya.

3. consultative atau usaha

yaitu register yang digunakan dalam transaksi kenegaraan , peminanagan, dan

sebagainya.

4. casual atau santai

yaitu register yang digunakan dalam situasi tidak resmi. Ragam ini banyak

menggunakan allegro, yaitu bentuk kata yang diperpendek.

5. intimate atau intim

yaitu register yang digunakan pada situasi antar anggota keluarga.

Halliday (1978 :25) mengemukakan bahwa register adalah bahasa yang

dipergunakan saat ini. Tergantung pada apa saja yang sedang dikerjakan. Selain



16



itu, sifat kegiatannya mencerminkan aspek lain dari tingkat social yang biasanya

melibatkan orang.

Dapat disimpulkan dari uraian tentang register diatas, register adalah

ragam bahasa menurut pemakaianya, yaitu bahasa yang digunakan tergantung

pada apa yang sedang dikerjakan dan sifat kegiatannya. Register mencerminkan

aspek lain dari tingkat sosial, yaitu proses sosial yang merupakan macam- macam

kegiatan sosial yang selalu melibatkan orang.




B. Bentuk Register

Register dibagi menjadi dua bentuk yaitu register selingkung terbatas dan

register selingkung terbuka. Register selingkung terbatas maknanya sedikit,

sifatnya terbatas jumlah kata dan maknanya terbatas sehingga beritanya terbatas

dan tertentu, register ini merupakan yang tidakk mempunyai tempat secara konkrit

dalam masyarakat maupun dalam tataran individu dan kreativitas, karena sudah

jarang dipakai.

Register selingkung terbuka mempunyai corak- corak makna yang

berhubungan dengan register, bahasa yang digunakan dalam register yang lebih

terbuka adalah bahasa tidak resmi atau percakapan spontan. Namun, register ini

tidak ada situasi maknanya ada tingkat tertentu tidak ditujukan secara langsung

selalu ada ciri yang dijelaskan ( Halliday 1994 : 53-55).




C. Fungsi Register



17



Halliday (dalam Nababan, 1985 :42) menyebutkan bahwa fungsi register

antara lain:

1. Fungsi instrumental

Yaitu bahasa yang berorientasi pada pendengar atau lawan tutur. Bahasa yang

digunakan untuk mengatur tingkah laku pendengar sehingga lawan tutur mau

menuruti atau mengikuti apa yang diharapkan penutur atau penulis. Hal ini

dapat dilakukan oleh penutur atau penulis dengan menggunakan ungkapan-

ungkapan yang menyatakan permintaan, himbauan, atau rayuan.

2. Fungsi interaksi

Yaitu fungsi bahasa yang berorientasi pada kontak antara pihak yang sedang

berkomunikasi. Register dalam hal ini berfungsi untuk menjalin dan

memelihara hubungan serta memperlihatkan perasaan bersahabat atau

solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah

berpola tetap, seperti pada wktu berjumpa, berkenalan, menanyakan keadaan,

meminta pamit, dan lain sebagainya.


3.


Fungsi kepribadian atau personal


Yaitu fungsi bahasa yang berorientasi pada penutur.Bahasa digunakan untuk

menyatukan hal-hal yang bersifat pribadi.Dalam hal-hal yang berkaitan

dengan dirinya.

4. Fungsi pemecah masalah atau heuristik

Yaitu fungsi pemakaian bahasa yang terdapat dalam ungkapan yang meminta,


menurut,


atau


menyatakan


suatu


jawaban


terhadap


masalah


atau


persoalan.Bahasa yang digunakan biasanya sebagai alat untuk mempelajari



18



segala hal, menyelidiki realitas, mencari fakta, dan penjelasan.Ungkapan-

ungkapan yang digunakan dalam fungsi ini berupa suatu pertanyaan yang


menuntut


penjelasan


atau


penjabaran,


misalnya


“coba


terangkan!”,


“bagaimana proses kerja…?” dan sebagainya.

5. Fungsi hayal atau imajinasi

Yaitu fungsi pemakaian bahasa yang berorientasi pada amanat atau maksud

yang akan disampaikan. Bahasa dalam fungsi ini digunakan untuk

mengungkapkan dan menyampaikan pikiran atau gagasan dan perasaan

penutur atau penulis.

6. Fungsi informasi

Yaitu pemakaian bahasa yang berfungsi sebagai alat untuk memberi suatu

berita atau informasi supaya dapat diketahui orang lain.

Fungsi register para pengundhuh sarang burung lawet di Goa Karang

Bolong, kabupaten Kebumen ini diartikan sama dengan fungsi bahasa dalam

pandangan sosiolinguistik. Menurut Jakobson (dalam Soeparno, 2003:6-7) fungsi

bahasa antara lain:

1. Fungsi Emotif

Fungsi emotif adalah bahasa berfungsi sebagai pengungkap rasa gembira,

sedih, kesal dan lain sebagainya.Dimana sebagai tumpuannya adalah penutur

(addresser).Fungsi bahasa ini berhubungan dengan ungkapan perasaan dan emosi

dari penutur.

2. Fungsi Konatif



19



Fungsi konatif adalah fungsi bahasa dimana yang menjadi tumpuan adalah

lawan bicara (addresce).Fungsi bahasa ini berhubungan dengan aktivitas atau

kegiatan agar lawan bicara dapat melakukan apa yang diungkapkan oleh penutur.

3. Fungsi Referensial

Fungsi referensial adalah fungsi bahasa yang terjadi jika kita sedang

membicarakan topik tertentu dan yang menjadi tumpuan adalah konteks

(context).Fungsi bahasa ini terjadi ketika kita sedang membicarakan suatu

permasalahan dengan topik tertentu.

4. Fungsi Puitik

Fungsi puitik adalah fungsi yang terjadi jika kita menyampaikan suatu

amanat atau pesan tertentu dan yang menjadi tumpuannya adalah pesan

(massage).

5. Fungsi Fatik

Fungsi fatik adalah fungsi bahasa yang dilakukan jika seseorang bertujuan

hanya untuk bisa kontak langsung dengan orang lain dan yang menjadi tumpuan

adalah pembicaraan dalam kontak (contact).

6. Fungsi Metalingual

Fungsi metalingual adalah fungsi bahasa yang terjadi jika kita berbicara

masalah bahasa dengan menggunakan bahasa tertentu dan yang menjadi

tumpuannya adalah kode (code).Fungsi metalingual misalnya bahasa untuk

menjelaskan, mendefinisikan, atau menamai.



20



D. Kerangka Berpikir

Terjadinya variasi bahasa disebabkan karena kegiatan interaksi sosial

masyarakat yang sangat beragam.Variasi bahasa dibedakan menjadi empat macam

yaitu variasi dari segi penutur, variasi dari segi keformalan, variasi dari segi

sarana, dan variasi dari segi pemakaian.Variasi dari penutur terdiri atas idiolek,

dialek, sosiolek dan kronolek. Variasi dari segi keformalan terdiri atas lima

macam gaya yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau resmi (formal), gaya

atau ragam usaha (consultatif), gaya atau ragam santai (casual) dan gaya atau

ragam akrab (intimat). Variasi dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam

ragam itu dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam

dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, variasi bahasa

dari segi pemakaian atau fungsinya disebut fungsiolek atau ragam atau register.

Register merupakan variasi bahasa berdasarkan pemakaian tertentu yang

menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang tertentu. Dalam

suatu percakapan para pengunduh sarang burung lawet terdapat tuturan-tuturan

yang khas yang hanya dimengerti oleh sekelompok para pengunduh dalam

bercakap-cakap.

Fungsi register yang paling pokok adalah sebagai alat berkomunikasi.

Fungsi register dibagi menjadi enam yaitu, (1) fungsi emotif dipakai apabila kita

mengungkapkan rasa gembira, kesal, sedih, (2) fungsi konatif dipakai apabila kita

mengungkapkan perintah, saran dan permintaan, (3) fungsi permintaan atau

referensial, (4) fungsi fatik dipakai untuk menolak, (5) fungsi puitik.



21



E. Penelitian yang relevan

Penelitian Riza Ariyanti Mufidah (2006) berjudul “Register Percakapan

Penjual dan Pembeli Sepeda di pasar Limpung Kecamatan Limpung Kabupaten

Batang”. Penelitian ini membahas tentang bentuk dan fungsi register oleh penjual

dan pembeli sepeda di pasar Limpung Kecamatan Limpung Kabupaten Batang.

Hasil penelitian ini adalah ragam bahasa yang terdapat dalam percakapan para

penjual dan pembeli adalah menggunakan ragam santai dimana terdapat ciri

register gaya santai yaitu berciri elips, kata khusus, allegro, dan kalimat susun


balik


sedangkan fungsi registernya adalah fungsi emotif, konatif, fatik dan


referensial.

Penelitian Devi Listriyani (2009) berjudul “Register kuli gendhong di

pasar induk buah dan sayur Giwangan Yogyakarta” membahas tentang bentuk dan

fungsi register kuli gendhong di pasar induk buah dan sayur Giwangan

Yogyakarta. Hasil penelitian ini adalah menyampaikan bahwa para kuli gendhong

banyak menggunakan register gaya santai. Register tersebut mempunyai ciri-ciri

(1) register yang berwujud kosa kata khusus yang hanya dimengerti oleh

komunitas kuli gendhong, (2) register yang berwujud frase, (3) register dilihat dari

struktur kalimatnya dan (4) register yang berwujud allegro.

Hasil penelitian yang ditulis Riza Ariyati Mufidah dan Devi Listriyani

tersebut mempunyai banyak fungsi dan manfaat bagi peneliti.Penelitian tersebut

digunakan sebagai acuan dalam melakukan penelitian. Penelitian yang ditulis Riza

Ariyati Mufidah dan Devi Listriyani sebagai pembanding dengan penelitian yang

sedang di teliti agar penelitian yang dihasilkan tidak sama.

dialek

Dialek Manus/Toe’/Bai’ Di Manggarai Timur

P. Jilis Verheijen SVD, antropolog dan pakar linguistik adalah yang pertama kali membagi wilayah daerah bahasa Manggarai ke dalam 4 bagian: dialek barat, timur, tengah dan dialek SH. Di bagian barat ada dialek Kempo, Boleng, Matawae, Welak dan dialek Komodo di pulau Komodo. Bagian Manggarai tengah menggunakan bahasa Manggarai “murni” dan dianggap sebagai monodialektis dengan aksen yang spesifikal sekali. Di bagian timur kita temukan dialek dan bahasa-bahasa Rongga, Mbaen, Bai’/Toe’, Pae’, Rembong dan Ning, masing-masing dengan spesifik yang memuat pengaruh besar dari bahasa-bahasa Flores Tengah, seperti Ngada, Nage Keo dan Lio. Dialek SH lebih mengacu kepada daerah-daerah Kolang, Pacar, Berit, Rego dan Nggalak, di mana huruf “S” dari bahasa Manggarai diucapkan sebagai “H”. Misalnya: “salang” (jalan) diucapkan “halang”. Semua bahasa dan dialek di atas memiliki struktur dan gramatika yang mirip dengan bahasa induk (Manggarai), meskipun banyak perbedaan dalam kosakata, lafal dan pengucapan. Demikianlah, bahasa memiliki tiga peranan penting dalam struktur sosial: sebagai bagian integral dari budaya tersebut, sebagai indeks atau tanda pengenal dan sebagai simbol ideologi masyarakat. (Willem Berybe: Triple Manggarai – Three in One, Sir!, dalam http://tombokilo.blogspot.com/2007/12/riple-manggarai-three-in-one-sir.html)


Bagian timur Manggarai yang telah menjadi kabupaten tersendiri, boleh dikatakan sebagai wilayah yang cukup unik dari segi linguistik. Seperti telah disebutkan di atas, terasa pengaruh besar dari bahasa-bahasa Flores Tengah. Malahan beberapa daerah menggunakan bahasa tersendiri yang sulit dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Manggarai, seperti bahasa Rembong di utara, Kepo dan Rongga di selatan. Sedangkan dialek-dialek seperti Mbaen dan Bai’/Toe’ banyak mengasimilasi dan mengabsorbsi kosakata dari lingu franca Manggarai.


Dialek Toe’/Bai’ mencakupi daerah kedaluan (dulu) Manus., sehingga sering disebut dialek/bahasa Manus. Para pengguna dialek ini sering di sebut Ata Manus atau Ata Bai’. Akan tiba waktunya untuk menelusuri apa arti kata Bai’ secara etimologis. Di bawah ini penulis mencoba menguak beberapa rahasia dari dialek yang secara ironis dikenal sebagai dialek „pukinde” (makian durhaka yang ditujukan kepada ibu, digunakan hanya di wilayah Manus).


Di samping akcent dan logat yang spesifikal, ciri khas dari dialek ini adalah munculnya banyak serapan dari bahasa Flores Tengah, seperti seruan le dan ko pada akhir kalimat-kalimat informatif yang membutuhkan ketegasan. Misalnya kalimat informatif: Hari ini udara sangat panas – dalam dialek Manus berbunyi sbb: Leso ghoo kolan ko. Seandainya hanya berbunyi: Leso’ ghoo kolan, maka kalimat tersebut tidak berniat menegaskan aspek sensasionalnya. Demikian juga dengan penggunaan le di akhir sebuah kalimat, sebagai permintaan halus, misalnya: Bagi agu akun le – Tolong bagikan denganku. Atau juga berarti penegasan, misalnya: Ata itu muing le – Memang demikianlah adanya.


Yang menarik juga adalah seruan ma/nde’ pada akhir kalimat, yang sering menggambarkan penekanan aprobatif (mengakui) sebuah informasi: Di’a mbaru dise’, ma/nde’… – Wah, rumah mereka indah sekali; dan juga menekankan aspek „resignatif” atau kekesalan di dalam permohonan: Bagi agu akun, ma/nde’ – tolong bagikan dengan saya. Di dalam kalimat ini, seruan ma/nde’ menegaskan bahwa kegiatan „membagi” itu adalah keharusan yang entah apa sebabnya diabaikan oleh pelaku. Ma ditujukan kepada lawan bicara laki-laki, sedangkan nde’ kepada jenis kelamin perempuan. Arti ketiga dari seruan personal ma’/nde’ adalah menggarisbawahi aspek „ancaman” di dalam kalimat, dengan aksen yang sedikit dipertinggi pada saat menyebutkan ma’/nde’.


Dialek Manus sebenarnya adalah bahasa Manggarai yang “diperkasar” sebutannya, disamping banyak kata serapan dari bahasa lain di Flores Tengah dan juga kata-kata yang memang hanya masuk dalam golongan bahasa Manus. Hampir setiap kata yang berakhir dengan vokal, selalu dibuat tekanan apostrofik atau lazim dikenal sebagai glottal stop. Misalnya: do menjadi do‘ yang berarti banyak; atau pau menjadi pau‘ (mangga). Sama seperti dialek SH, dialek ini cukup sering mengubah lafalan huruf-huruf tertentu dari bahasa Manggarai, misalnya: C (di awal kata) menjadi S (cesua – sesua = lusa), J menjadi Z; NG (di akhir kata) menjadi N (jarang – zaran = kuda); E (di akhir suku kata) menjadi O (enem – enom = enam; meseng – mesong = kemarin); H menjadi GH (hang – ghan = makan/makanan).


Patut dicatat bahwa kendatipun perbedaan yang ada, dialek Manus tetap mengakui cukup banyak pepatah dan istilah adat Manggarai dalam dialek aslinya (dialek Manggarai Tengah), meskipun lafalannya kadang-kadang diperkasar. Misalnya: Paang olo ngaung musi menjadi Paan olo ngaung musi (istilah untuk sebuah keluarga atau kekerabatan); atau: Molor du ngon, lomes du kolen menjadi To’on molor lomes kole’n. (menggambarkan keberhasilan dalam meraih ilmu atau pengetahuan).

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 1

01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 1

Refleksi Ringan Tentang
PROBLEMATIKA KEetnikan DAN kebahasaan DALAM PERSPEKTIF EKOLINGUISTIK[1]
Prof. Dr. Aron Meko Mbete [2]
1. Pendahuluan
Terminologi keetnikan (ethnicity, etnisitas) sebagai konstruksi budaya (Barker, 2004), yang juga terkait dengan bahasa sebagai penanda dan pengikat, memang selalu menarik untuk dibahas. Konsep keetnikan itu pun diartikulasikan dalam diskursus sosial bahkan menjadi komoditas politik. Dalam renungan singkat ini, keetnikan atau etnisitas berkaitan dengan kesadaran akan kesamaan tradisi budaya, biologis, dan jati diri sebagai suatu kelompok (Tilaar, 2007:4-5) dalam suatu masyarakat yang lebih luas. Schemerhon dalam Purwanto (2007) mendefinisikan kelompok etnik sebagai kolektiva yang memiliki persamaan asal nenek moyang, baik secara nyata maupun semu, memiliki pengalaman sejarah yang sama, dan suatu kesamaan fokus budaya yang terpusat pada unsur-unsur simbolik yang melambangkan persamaan ciri-ciri fenotipe, religi, bahasa, pola kekerabatan, dan gabungan unsur-unsur itu. Dalam konteks perenungan ini, dinamika dan kompleksitas fenomena keetnikan dan kebahasaan khususnya, dipersoalkan dan dikaji dalam perspektif linguistik ekologi dan ekolinguistik kritis (lihat Fill, 2004). Kendati di dalam keetnikan itu termasuk pula sejumlah komponen terkait seperti asal-muasal, ras, tradisi, dan budaya, namun bahasan ini dibatasi hanya pada relasi keduanya, etnik dan bahasa, dalam dimensi ruang hidup dan gerak waktu (momen) yang terbatas pula.
Kajian dan renungan kritis tentang kedua aspek itu diupayakan untuk mencoba memetakan kenyataan hidup keetnikan dan keindonesiaan dalam keutuhan bangsa Indonesia yang majemuk. Dengan kekuatan budaya ilmu yang jujur, rasional, dan objektif diharapkan akar permasalahan ketidakseimbangan, ketetidaksetaraan, ketidakadilan, dominasi, dan hegemoni intraetnis dan antaretnis yang mengganggu hak hidup keetnikan sebagai pilar penyangga keutuhan bangsa, (termasuk hibriditas lintas etnik dengan diasporanya di pelbagai wilayah Nusantara yang menghadirkan pijinisasi dan kreolisasi), dapat diatasi dengan penuh respek, toleransi, dan arif. Mobilitas sosial lintas etnik, lintas daerah, pun gejala asimilasi yang membaurkan etnik-etnik Nusantara di lingkungan kota khususnya, kian memperkuat karakter kemajemukan bangsa. Dengan demikian, persoalan jati diri keetnikan yang ditandai dan diramu secara khusus oleh bahasa etnik, atau bahasa lokal, menjadi fokus pembahasan ini.
Mensyukuri dan merayakan kemajemukan, keberagaman etnik, agama, tradisi, dan bahasa sebagai realitas sosial-budaya Nusantara, menjadi suatu keniscayaan (lihat Azra, 2007: 5). Realitas itu penting diterima dan disyukuri, karena memang itulah sesungguhnya makna dan nilai aksiologis ilmu pengetahuan budaya dalam memberikan pencerahan makna di tengah kehidupan bangsa yang sedang berkembang. Dimensi pragmatisme keilmuan memperlihatkan fungsi linguistik terapan (applied linguistics), khususnya linguistik ekologi, ekolinguistik kritis, dan perspektif kajian budaya (cultural studies). Kendatipun demikian, persoalan kritis keetnikan dan kebahasaan di Indonesia yang memang memiliki karakteristik dan kompleksitasnya tersendiri (band. Geertz, 1996; lihat Hardiman, 2003: ix-xii), tentu saja membutuhkan paradigma kejernihan berpikir tersendiri, meski tetap dalam koridor ilmu budaya. Sehubungan dengan itu, pendekatan interpretatif-kualitatifnya dimanfaatkan agar aspek-aspek ideografis dapat ditemukan.
Perlu disadari dan direnungkan secara terus-menerus, bahwa “ekologi asli” keetnikan juga tidaklah sangat demarkatif batas-pisah dengan etnik-etnik lain di sekitarnya sebagaimana juga ekologi bahasa etnik itu sendiri. Meskipun demikian tetap disadari adanya faktor-faktor sejarah, tradisi, budaya, dan ciri-ciri tertentu yang membangun kesadaran, imajinasi atau bayangan kebersamaan (lihat Anderson, 2002), merajut “kesepakatan” ikhwal adanya keberbedaan jati diri yang khas-etnis dan pada nasional, khas sebagai bangsa Indonesia yang sedang berproses. Dalam kenyataannya, ekologi keetnikan itu diperluas karena daya sebar (migrasi) warga dengan diasporanya, berhimpitan dengan ekologi etnik dan bahasa etnik lainnya. Ruang hidup yang “asli” setiap etnik dengan kisah-kisah sejarah (ras, darah, keturunan, bahkan juga tanah taklukan misalnya), dongeng, mitos, dan keterpencarannya, perlu dikaji dan perlu dipelihara. Ekologi bahasa etnik, misalnya bahasa-bahasa: Melayu, Batak, Minang, Aceh, Nias, Mentawai, Lampung, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Sasak, Sumbawa, Bima, Manggarai, Ngadha, Lio, Sikka, Lamaholot, Roti, Bugis, Muna, dan Biak, masing-masing dengan dialek geografi dan dialek sosialnya, dengan ruang hidup keberagaman bahasa, “membungkus” dan mencerminkan lingkungan geografi dan sosio-budaya keetnikannya. Dengan demikian, aneka teks verbal (tuturan ataupun tulisan) bahasa-bahasa etnik yang mereprentasikan realitas manusia, masyarakat, kebudayaan dan alam sekitarnya, sangat penting dikaji. Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan bersama organisme-organisme lainnya. Dengan demikian, dibutuhkan kajian empiric untuk memahami kondisi hidupnya. Secara metaforis-biologis, daya hidup (vitality) bahasa-bahasa etnik, juga bahasa Indonesia, atau juga sejumlah bahasa asing yang hidup di Indonesia, didiagnosiskan sebagai: sehat, kuat, bertumbuh subur, ataukah sebaliknya dalam kondisi sakit, lemah, kerdil, bahkan menjelang punah. Kondisi gawat darurat, secara khusus dicoba dipahami secara sekilas lintas dalam konteks ini.

2. Refleksi Ringan atas Perubahan Lingkungan Hidup Keetnikan dan Kebahasaan
Ekologi etnik atau ekologi manusia adalah lingkungan hidup buatan yang juga menjadi ekologi bahasa dan ragam-ragamnya. Sebagai lingkungan hidup buatan hasil budaya dan proses sosial, hubungan manusia dengan alam sekitarnya tercermin pula dalam struktur bahasa sebagaimana tampak paling mencolok dalam dunia arsitektur antaretnik yang memanfaatkan bahan-bahan bangunan di lingkungan itu. Kategori nomina nyata yang melambangkan bahan bangunan dan pemukiman misalnya, atau juga verba proses pemanfaatan sumber daya hutan untuk pembangunan rumah dan ruang pemukiman misalnya, seperti juga budaya makanan-kuliner, terekam secara verbal (band. Preziosi, 1984:47-49) dalam bahasa etnik. Secara kreatif, bahasa memang merekam pengalaman dan merefleksikan kenyataan yang ada di lingkungan (lihat Halliday, 2001).
Bagi bangsa Indonesia, lingkungan hidup keetnikan dan kebahasaan itu sedang berkembang pesat menjadi lingkungan hidup yang dwibahasa, dalam arti lebih dari dua bahasa (Romaine, 1995) dan dwibudaya (lihat Bell, 1976) yang hidup secara bersama, berfungsi dan tentunya saling bersaing. Kondisinya juga sangat dinamis dan kompleks. Kedudukan dan fungsi yang lebih kuat di ranah politik, kebudayaan, ekonomi, dan IPTEK yang dimiliki oleh bahasa Indonesia, yang memang kurang bahkan tidak dimiliki oleh sebagian besar bahasa etnik Nusantara, jelas mendasari dominasi bahasa Indonesia atas bahasa daerah. Kenyataan juga menunjukkan bahwa secara sosio-psikologis telah terjadi ketidakseimbangan kedwibahasaan di Indonesia. Bahasa Indonesia, bahkan juga bahasa asing, sangat kuat pengaruh dan lebih tinggi prestisenya, mendominasi kehidupan kebahasaan sehingga bahasa-bahasa etnik yang menjadi simbol dan perekat jiwa keetnikan, kian kerdil tumbuhnya, kian lemah daya tahannya karena kian jarang penggunaannya secara mendalam, apalagi dikaitkan dengan dinamika kebudayaan Indonesia dan derasnya arus budaya global.
Dalam konteks perbincangan ini, lingkup bahasan dibatasi. Selain pemetaan sekilas dan pemahaman awal tentang makna di balik situasi hidup keetnikan dan kebahasaan dalam perspektif ekolinguistik kritis, pembedahan kondisi hidupnya sangat diperlukan. Kondisi hidup etnik dan bahasanya itu memang menyatu dalam diri komunitas penuturnya. Betapa sesungguhnya kekuatan dan nafas hidup keetnikan direpresentasikan oleh fungsi-fungsi sosio-ekologis bahasa etnik. Inilah sesungguhnya simpul kusut yang menjadi fokus perhatian dan pokok persoalan. Tanpa mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, terutama demi kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia yang multietnik, multimental (lihat Hardiman, 2003: viii), dan multibahasa ini, kuat-lemahnya nafas hidup keetnikan dan bahasanya, baik bahasa besar maupun bahasa kecil (lihat Ferguson, 1971), menarik, bahkan mendesak untuk dibedah dan didalami makna di baliknya. Pembedahan dimaksudkan untuk menjelaskan dan mencegah faktor-faktor dominan yang mengancam keberadaan bahasa-bahasa etnik, baik dari dalam maupun dari luar komunitas etnik dan komunitas bahasa. Setiap tahun banyak bahasa minor di benyak belahan bumi yang punah dan terancam punah. Diduga, punahnya bahasa etnik berarti punah pula etnik atau subetnik tertentu pemilik bahasa itu.
Linguistik klinis (lihat Halliday, 2001) yang dimanfaatkan dalam kerangka perencanaan dan pemberdayaan kembali daya hidup bahasa etnik dengan sumber daya sosial dan budayanya, merupakan obsesi akademis dan solusi pragmatis yang perlu dilakukan. Itulah titik mula dan sasaran akhir telaahan ringan ini. Selanjutnya langkah-langkah strategis unggulan di bidang penelitian kebahasaan dalam konteks keetnikan atau sebaliknya keetnikan berbasiskan kebahasaannya, dapat dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Di atas fakta tentang lemahnya daya hidup bahasa dan etnik pemiliknya, rekomendasi pemberdayaan bahasa (language empowering) menjadi keniscayaan dalam kerangka kepedulian, pengembangan, dan penerapan linguistik Indonesia.
Dalam perspektif ekosistem, termasuk ekologi manusia dan kebudayaannya, hak hadir dan hak hidup setiap etnik dengan bahasa etniknya (dalam suasana keseimbangan dan keharmonisan), harus dijamin oleh negara dan masyarakat dunia. Sejak tahun 1951 UNESCO telah mencanangkan (lihat Alwasilah, 1985:238-245) kepedulian, ikhwal betapa pentingnya bahasa-bahasa vernacular, bahasa-bahasa etnik yang juga menjadi bahasa ibu (mother tongue). Bahkan dalam kaitan dengan bahasa ibu, tanggal 21 Februari ditetapkan oleh UNESCO sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Eratnya kaitan antara bahasa ibu dengan komunitas etnik, memang sangat disadari oleh negara dan banyak pihak. UUD 1945 Perubahan, secara tersurat menjamin keberadaannya. Pasal 32 butir (2) UUD 1945 Perubahan tertera: Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Sejalan dengan rumusan itu, Pasal 28-I butir (3) tertera pula: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati, selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dalam UU Nomor 22 Otonomi Daerah juga Menimbang (dalam butir b): bahwa dasar penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Potensi dan keanekaragaman di sini mencakupi sumber daya alam dan sumber daya kebudayaan dan modal sosial masyarakatnya.
Jaminan konstitusi memang jelas. Akan tetapi implementasinya di banyak daerah masih harus dipertanyakan secara terus-menerus. “Bhineka Tunggal Ika”, semboyan bangsa yang terwaris sejak Kerajaan Majapahit pada abad XV dalam sastra Sutasomanya, diakui sebagai adicita (ideology) perekat bangsa Indonesia yang multietnik. Disadari pula bahwa memang di dalam konteks keetnikan itulah, nilai-nilai budaya keetnikan yang direkam dalam bahasa etnik, perlu dipelihara, dimuliakan, dan diwariskan kepada generasi baru. Dalam ekosistem kebahasaan pula, dialek-dialek, sosiolek, dan register-registernya dijamin hak hidup demi keberadaan dan jati diri etnik pemiliknya.
Hak hadir dan hak hidup dialek, sosiolek, dan registernya, jelas bertautan secara fungsional dengan hak hadir dan hak hidup komunitas penuturnya, kelompok dan lapisan penuturnya, dan dengan fungsi sosio-kulturalnya (Bastardas-Boada, 2000:1). Dalam konteks ini, kebijakan kebahasaan yang tepat secara nasional memang sangat penting. Kendatipun demikian, adanya jaminan konstitusi atas hak hadir dan hak hidup saja tidaklah cukup. Seperti yang dicanangkan oleh Saussure, sebagai fakta sosial dan suatu sistem nilai (dalam Culler, 1996:38), bahasa yang benar-benar “hidup” itu selain harus kokoh berada dalam kompetensi dan kognisi para penuturnya, dimensi produksi dan kreasi penggunaannya secara berkelanjutan dan mantap (stabil) dalam ranah-ranah kehidupan sosial-budaya etniknya, merupakan keniscayaan. Dalam perspektif ekolinguistik, komunitas penutur bahasa tidaklah sebatas pengguna semata, melainkan pemroduksi bahasa secara kreatif dan adaptif sesuai dengan perubahan sosio-ekologinya.
Dinamika dan perubahan socio-kultural, terjadi sangat cepat menusuk relung-relung jiwa warga etnik di banyak wilayah Tanah Air. Masyarakat tradisional berbasis etnik di Indonesia, setakat ini jauh lebih dinamis daripada yang diperkirakan oleh umum, sebagaimana juga di negara-negara yang sedang berkembang lainnya (Dove, 1985). Struktur permilikan, pola penggunaan lahan, dan kondisi lingkungan hidup telah berubah mengiringi dinamika ekonomi-agraris yang ditopang infrastruktur transportasi, komunikasi, dan teknologi informasi. Pengembaraan dan pemerkayaan mental dengan fasilitas teknologi informasi (IT), mengubah ruang orientasi hidup terutama setelah adicita (ideology) pembangunan (developmentism), semangat perubahan yang “reformatif” sejak 1998, dan pertumbuhan (growing) ekonomi merebak, mengubah tatanan sosial-budaya, termasuk konstelasi kebahasaan. Wacana sosioekonomi-ekologis berkembang pula (band. Bastardas-Boadas, 2000: 2-4). Relasi sosial kekerabatan melonggar, tata nilai berubah, dan fungsi komunikasi verbal, khususnya komunikasi verbal keetnikan menyempit, digeser oleh media televisi berbahasa Indonesia yang membius kuat generasi muda. Hingga batas-batas tertentu, media telah menggantikan fungsi edukasi orangtua. Kerenggangan relasi yang seharusnya lebih bermakna edukatif-pedagogis Orangtua-Anak-anak, menggejala pula pada masyarakat perkotaan dan perdesaan. Fungsi koordinasi bahasa diganti pula oleh media-media seperti uang dan kekuasaan yang menjadi pengendali tindakan komunikatif (Habermas, 2007:505). Selain kurang lebat dan kurang bermakna lagi interaksi verbal berbahasa etnik, di sisi lain perubahan wacana, penyusutan fungsi dan perubahan makna, serta dinamika aspek leksikogramatika dalam berbahasa etnik, menengarai betapa perubahan bahasa dan perilakuberbahasa menggambarkan perubahan sosioekologis (Beard, 2004: 6-8).
Perubahan bermakna yang menunjukkan kerusakan ekosistem secara ragawi (phisically), antara lain rusaknya kawasan atau daerah aliran sungai, DAS, tercemarnya air sungai, danau dan laut, atau mungkin juga gersangnya lereng gunung dan tepian Danau Toba, Danau Singkarak, Danau Beratan, Danau Segara Anakan, Danau Tempe dan Sidenreng, Danau Ranamese, ataupun Danau Sentani, di Papua misalnya, jika itu terjadi karena tingkah manusia, dapat dibedah secara ekolinguistik kritis. Penyalahgunaan “energi wacana” pembangunan, dan disfungsi bahasa-bahasa etnik yang kaya makna konserfasi ekologi dan sosial, memang telah terjadi. Bukankah, leluhur kita telah menanamkan dan mewariskan narasi agung yang menjadi adicita (ideology) kolektif etnik? Adicita tentang kelestarian dan pemuliaan lingkungan hidup dengan segala biodiversitasnya, tentang sumber daya hutan dan sumber air yang harus dijaga, adalah amanat luhur yang hadir dalam bentuk-bentuk ungkapan-ungkapan adat. Sumber daya dan modal sosial-kultural inilah yang mulai sirna karena memang ditelantarkan.
Bahasa sangat sentra posisinya bagi guyub tutur karena hanya dengan bahasalah adicita (ideology) itu hadir. Adicita itu pun akan sangat berenergi hanyalah jika dituturkan dan atau ditulis sebagai kode lingual yang kaya makna (Volosinov, 1971: 9-10), termasuk amanat pelestarian lingkungan. Dalam konteks ini pranata dan institusi tradisional menjadi sangat penting. Ketidakserasian relasi manusia dengan lingkungan hidup memang sedang menggejala kuat. Adicita pembangunan ekonomi yang “tamak” dengan energi green grammar-nya yang salah kprah dalam diskursus sosial, telah menguras, menggeser, dan memusnahkan aneka biota yang ada di lingkungan tertentu. Aneka biota itu umumnya terekam dalam memori lingual warga etnik. Secara bathiniah, sesungguhnya terjadi “konflik” serius antara manusia dengan lingkungan alam tempat hidupnya, seperti juga aneka konflik antarwarga etnik dan antaretnik di suatu kawasan karena nafsu kuasa.
Ketidakserasian hubungan juga terjadi dalam lingkungan hidup sosial-budaya. Banyak warga etnik dan relasi kekerabatan yang retak. Keretakan dan kerengganan relasi insani berdimensi kekerabatan antarwarga etnik, sedang merebak kuat pula. Dalam lingkup komunitas basis terkecil keluarga, relasi ketetanggaan di perkotaan, bagaimanapun juga berkaitan dengan gejala disfungsi sosio-kultural bahasa etnik khususnya sebagai gejala yang tidak sulit dapat disimak. Disfungsi socioekologis bahasa etnik sebagai sarana primordial (Masinambow, 1999:11) itu merupakan gejala lingkungan hidup kemanusiaan dan kemasyarakatan yang perlu diprihatinkan. Bahasa, dalam hal ini bahasa etnik yang seyogyanya berfungsi mengonstruksi makna sosio-kultural (lihat Barker, 2004:74) dalam jaringan infrastruktur komunikasi verbal para pendukungnya, dalam perkembangannya dapat saja tidak menjalankan fungsinya karena memang tidak digunakan secara lebih sering dan lebih “mendalam”. Kesenjangan nilai antargenerasi penutur bahasa dan pendukung etnik, antara lain dikarenakan juga oleh faktor penyusutan fungsi interpersonal bahasa etnik. Padahal, fungsi tersebutlah yang antara lain membangun relasi kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat. Situasi multilingual dan multicultural telah menggeser bahasa etnik dan nilai-nilai ketnikan.
3. Beberapa Persoalan Khusus Keetnikan dan Kebahasaan Kita yang Perlu Dikaji
Arus global memang terasa menggoyang jati diri sebagai bangsa Indonesia. Goyangan kultural global yang menggelisahkan generasi tua terhadap keberlanjutan tata nilai lokal itu menyadarkan warga untuk menggali, menemukan, dan memperkokoh jati diri dengan rajutan nilai-nilai lokal. Baik jati diri keetnikan di jenjang lokal maupun jati diri sebagai bangsa Indonesia sedang berada dalam tantangan. Jika gejala pasangnya semangat nasionalisme mempertebal rasa keindonesiaan kita yang majemuk, sebaliknya gejala surutnya semangat nasionalisme menipiskan rasa keindonesiaan kita sebagai bangsa yang multietnik. Keadaan itu menggelitik warga etnik untuk mengidentifikasi kembali kekuatan jati diri keetnikan demi kekuatan jati diri keindonesiaan.
Dalam konteks perbincangan ini, komponen pengikat dan penanda (marker) keetnikan dalam praktik budaya dan diskursus sosial, yang tiada lain adalah bahasa-bahasa etnik, semisal bahasa Batak, bahasa Minang, bahasa Melayu, bahasa Aceh, bahasa Lampung, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Madura, bahasa Sasak, bahasa Bima, bahasa Sawu, bahasa Roti, bahasa Sika, bahasa Lamaholot, bahasa Bugis, bahasa Bajo, bahasa Biak Numfor, dan sebagainya, masing-masing dengan sejumlah dialeknya, menjadi fokus kajian akademis yang sangat penting. Kekayaan bahasa dalam pelbagai tatarannya, adalah gambaran tentang kekayaan budaya dan kekayaan lingkungan alamnya. Sebelum bahasa-bahasa etnik yang kecil mati, dan sebelum punah pula sumber daya alam yang disimbolisasikan secara verbal itu, perekaman khazanah budaya keetnikan dan kekayaan sumber daya lingkungan secara ekoleksikografis, menjadi sangat mendesak dan strategis.
Terlalu derasnya arus budaya dan arus bahasa global dalam arti luas, dan terlalu dalamnya pengaruh budaya modern yang melumuri “wajah” masyasrakat Indonesia, seperti juga terlalu mendominasinya subetnik tertentu atas subetnik-subetnik lainnya pada tingkat lokal dan nasional, atau juga dominasi etnik mayoritas atas etnik-etnik minoritas atas nama pembangunan dan kekuasaan dalam makna tertentu, dapat saja “memudarkan bahkan menghancurkan” tatanan sosial-budaya etnik di Indonesia, khususnya etnik-etnik yang memang kecil dan tanpa peran politiknya. Keadilan dan kesetaraan, dengan demikian menjadi persoalan serius. Sehubungan dengan itu, diskusi mengenai keetnitkan (ethnicity) dalam ekolinguistik kritis, akan menjadi lebih bermakna jika topik hangat itu kembali dikaitkan dengan kondisi setakat ini: keterdesakan dan ketererabutan akar local keetnikan. Gejala itu dapat dibedah melalui fenomena kebahasaan dalam perspektif ekolinguistik kritis. Terdesak dan tercerabutnya pijakan lokal dan akar keetnikan jelas menggoyahkan jati diri (identity) dan tentunya berdampak negatif pula terhadap semakin melemahnya kekuatan pilar-pilar kebangsaan dan rasa nasionalisme.
Membedah gejala keterdesakan dan ketercerabutan akar keetnikan anak bangsa, dapat dibahas dalam beberapa pilahan persoalan. Pertama, sedalam dan sekuat manakah sesungguhnya nilai-nilai kelokalan dan keetnikan dipahami oleh komunitas etnik yang juga menjadi warga komunitas bahasa etnik. Kedalaman dan kekuatan permilikan dan penghayatan nilai-nilai lokal keetnikan ini tidak hanya di kalangan generasi muda melainkan juga generasi tua. Kedua, bagaimanakah sesungguhnya nilai-nilai sosial-budaya kekerabatan, adicita (ideology), fungsi dan makna mitos misalnya, hadir secara bermakna dalam kehidupan nyata kelokalan, terlebih dalam proses pendidikan formal dan informal bagi generasi muda sebagai pewaris nilai? Persoalan ini juga sangat penting untuk dibedah. Modal sosial-kultural itu masih layak digali dan diberdayakan, tanpa harus mengerdilkan keindonesiaan mereka. Ketiga, bagaimanakah derajat kegandrungan dan apresiasi komunitas etnik, tua atau muda, terhadap tradisi lisannya, terhadap karya-karya sastra, juga mutu daya cipta sastra etnik mereka? Jawaban atas ketiga persoalan itu menjadi tanda penting kehidupan dan atau sebaliknya menengarai ancaman kepunahan bahasa dan komunitas etnik.
Dalam perspektif fungsi sosioekologis bahasa etnik, tradisi, adicita, dan jabaran nilai-nilai keetnikan diwadahi, dikemas dalam dan dipresentasikan dengan bahasa etnik. Kemasan verbal, di sisi nonverbal, dan isinya itulah yang merajut jati diri, membangun ciri pembeda, menjadi modal sosial dan sumber daya kultural-lingual masyarakatnya. Bagaimana keunikan dan cara “Orang Batak, Orang Aceh, Orang Minang, Orang Nias, Orang Mentawai, Orang Jawa, Orang Bali, Orang Madura, Orang Sunda, Orang Betawi, Orang Kupang, Orang Ambon, Orang Manado, Orang Bugis, dan Orang Papua, bertutur dengan bahasa etnik mereka, atau juga dengan bahasa Indonesia, itulah sesungguhnya isi, kekuatan, dan warna jati diri keetnikan, karena di balik bahasalah terekam isi jiwa dan kekayaan mental mereka. Masalahnya, bagaimanakah sesungguhnya tingkat dan mutu kompetensi dan performansi kebahasaan bahasa local kalangan generasi muda baik di perdesaaan maupun di perkotaan khususnya, dalam praksis hidup keetnikan mereka?
Mempersoalkan daya hidup bahasa, dalam hal ini bahasa-bahasa etnik, tiada lain mempermasalahkan dan menggugat sikap, perilaku, dan terutama tingkat kecerdasan lingual-kultural keetnikan generasi muda sesuai dengan ruang dan lahan fungsionalnya dalam kehidupan sosioekologis keetnikan. Bahasa yang hidup, tidak hanya di dalam memori atau kognisi semata (sebagai buah penghafalan demi lulus ujian lokal-nasional), tidak hanya sebagai “kompetensi” melainkan harus berwujud “performansi” yang komunikatif, produktif, dan kreatif, baik lisan maupun tulisan dengan kekayaan ranah pakai bernuansa etnis. Jika individu disimak keberadaannya sebagai salah satu organisme, ia hanya dapat berbicara dan memahami tuturan hanya karena ada individu sebagai organisme yang hadir di sekitarnya sebagai mitra tutur, yang memperlihatkan fenomena relasi antarorganisme pula (Halliday, 1978:10). Bahasa hidup secara faktual melalui “mulut-telinga” , penutur dan pendengar, dalam perwujudan tuturan yang sarat makna kultural kelokalan, dan melalui kelincahan tangan dalam membangun tulisan. Tuturan selalu berdimensi sosial langsung dan lebih mendekatkan relasi antarindividu dibandingkan tulisan. Dengan demikian kelisanan tetap diperlukan di samping keberaksaraan.

4. Politik Identitas Keetnikan, Potensi Kebahasaan, dan Kesenjangan Sosioekologis
Politik identitas keetnikan di Indonesia, dengan demikian perlu ditata kembali tanpa harus mengganggu sendi-sendi Negara Kesatuan RI sebagai negara-bangsa. Untuk itu, bahasa-bahasa Nusantara dalam perspektif ekolinguistik kritis layak dikaji dan diberdayakan sebagai ciri fungsional penanda dan pengungkap jati diri keetnikan. Dalam kaitan dengan otonomi daerah yang memang menuntut peran serta komunitas etnik, sesungguhnya komunitas etniklah yang paling bertanggung jawab untuk memelihara dan merevitalisasinya. Bukankah sejarah leluhur, mitos, tradisi keetnikan, terutama lingkungan hidup bahasa etnik, yang setakat ini juga harus memberi ruang dan peluang hidup bagi bahasa Indonesia, bahasa-bahasa etnik lainnya, dan bahasa-bahasa asing, merupakan Tanah Asal Leluhur. Tanah leluhur dengan kehidupan bahasa, budaya, etnik, dan aneka sumber daya alam itu, yang di antaranya juga hasil “taklukan” dan buah perjuangan jiwa-raga, tumpahan darah dan keringat para leluhur mereka, harus tetap dijaga, dimuliakan, dan diwariskan antargenerasi. Kesadaran sosioekologis ini penting dalam melabeli dan mengidentifikasi diri sebagai warga etnik, sekaligus juga warga Indonesia.
Tanah atau wilayah itulah lingkungan hidup etnik-etnik dengan bahasa-bahasa Nusantara, seperti bahasa Batak, bahasa Minang, bahasa Melayu, bahasa Aceh, bahasa Jawa, Bali, Madura, Sasak, dan sebagainya, masing-masing dengan dialek-dialek, subetnik dan subkulturnya. Bahasa-bahasa itu adalah wadah kebersamaan, sarana interaksi dan komunikasi verbal, sekaligus simbol dan sarana pemahaman mereka tentang diri mereka, kekerabatan mereka, tata nilai dan tata norma hidup mereka, gagasan dan adicita (ideology) yang harus tetap hadir, tumbuh, dan berkembang. Bahasa yang hidup, tumbuh, dan berkembang adalah bahasa yang digunakan secara intens dalam sejumlah ranah pakai. Metafora inilah sesungguhnya ekspresi kebahasaan penunjang jati diri keetnikan yang menjadi bagian dari pemahaman bahasa secara ekolinguistik.
Berkaitan dengan fungsi kode-kode lingual bahasa etnik itulah, lingkungan sosial dan lingkungan alam dengan segala sumberdayanya, layak dikaji secara kritis. Pengkajian ditujukan untuk memahami daya hidup, nafas budaya lokal warisan leluhurnya, secara khusus di kalangan generasi muda dari etnik-etnik Nusantara. Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa yang diberi ruang hidup adalah bahasa yang digunakan. Lebih khas lagi, secara biologis, sosiologis, dan ideologis (lihat Bastardas-Boada, 2005:1), bahasa yang tumbuh dan berkembang secara berimbang dengan bahasa-bahasa lainnya dalam masyarakat yang multilingual, demikian juga dialek dan register yang hidup dan berfungsi secara seimbang dengan dialek-dialek dan register-register lainnya, menjamin keberlanjutan bahasa itu.
Keberlanjutan dan keberdayaan bahasa secara fungsional dalam dinamika kebudayaan, Ilmu pengetahuan, dan teknologi, disangga oleh daya adaptasi dan kreasi komunitas tuturnya. Adaptasi dan kreasi secara leksikogramatika sangat menentukan daya hidup bahasa. Dalam konteks ini, daya cipta leksikon yang digali dari khazanah asli dengan pemerkayaan makna, diciptakan secara baru, atau juga dari sumber luar dengan penyesuaian gramatikal bahasa etnik, pengembangan metafora, pemanfaatan daya morfosintaksis, ungkapan-ungkapan lokal, mewarnai jati diri kebahasaan seraya memperkaya khazanah kata dengan leksikon baru bernuansa IPTEK. Semuanya itu berpangkal pada kompetensi kebahasaan dan kebudayaan etnik generasi penerusnya.
Salah satu kendala adaptasi bahasa melalui penuturnya adalah “rendahnya” mutu penguasaan (kompetensi) dan rendahnya kelincahan verbal berbahasa lokal, sementara bahasa Indonesia juga masih memrihatinkan. Bukankah masih banyak warga bangsa yang buta bahasa Indonesia dan buta huruf latin? Secara biolinguistik keetnikan, bahkan juga keindonesiaan, sebagian (besar) anak bangsa, secara verbal berada dalam kondidi “sakit dan gamang”. Ada jarak yang renggang dengan lingkungan sosio-ekologis, namun sangat akrab dengan budaya multimedia. Sistem pembelajaran bahasa yang “dihegemoni” oleh pragmatisme politik adalah situasi keterbelengguan atau keterjebakan yang sangat merugikan. Sikap hanya demi keberhasilan ujian nasional, bukannya keterampilan dan kelincahan verbal (tuturan dan tulisan) sebagai ciri kecerdasan intelektual dan emosional, sangat mengganggu perkembangan sumber daya insani dan perkembangan jati diri sebagian (nesar) generasi muda bangsa.
Kemampuan mengungkapkan hasil penalaran dan perasaan terdalam para peserta didik khususnya atas realitas kehidupan sosioekologis kelokalan berbasis etnik dan keindonesiaan dalam proses pembelajaran dan pendidikan, justru sangat penting dalam membangun kesadaran akan hakikat dan fungsi lingkungan hidup, sekaligus mencegah keterasingan. Di beberapa daerah di Indonesia, ditemukan fakta yang sangat memrihatinkan. Sejumlah anak bangsa yang setiap hari menikmati pangan-kuliner Indonesia asli (nasi, jagung, singkong, kacang-kacangan, sagu, daging sapi, kerbau, aneka unggas, ikan dan udang, serta beragam sayur), justru tidak lagi mengenal biota, apalagi varietas-varietas padi, jagung, dan kacang yang hidup di sawah atau ladang, tidak pula mengenal sapi atau kerbau, tidak mengenal lagi jenis-jenis burung, dan tidak lagi mengenal jenis-jenis sayuran dalam bahasa etnik mereka. Sebaliknya, anak-anak kota sangat akrab dengan makanan instan produk asing. Kesenjangan lingual-kultural ini merupakan masalah pendidikan lingkungan (lihat Kompas, 13-14 April 2009) yang sangat penting untuk dikritisi dan ditata ulang. Termasuk di dalamnya adalah pendidikan multikultural untuk tulus menghormati, menerima, menghargai, dan membangun kebersamaan dalam perbedaan (band. Blum, 2001). Pendidikan dan pembelajaran bahasa lokal atau bahasa daerah, demikian juga pembelajaran bahasa Indonesia, dan bahasa-bahasa asing di Indonesia, secara kontekstual sudah seharusnyalah bersumber, berbasiskan, dan menyatu dengan lingkungan hidup, masyarakat, dan kebudayaan di sekitar mereka.
5. Catatan Akhir
Renungan sekilas tentang dunia keetnikan dan kebahasaan dalam perspektif ekolinguistik ini mengajak warga etnik sekaligus guyub tutur bahasa etnik untuk menyadari eratnya hubungan antara bahasa dengan lingkungan hidup, baik lingkungan sosial-budaya maupun lingkungan alam. Di satu sisi bahasa merekam secara simbolis kekayaan alam dan modal sosial-kultural komunitas tutur bahasa. Dunia keetnikan berkaitan dengan bayangan dan kesadaran akan kesamaan leluhur, asal-muasal, tradisi, adicita (ideology) tanah teritorial, simbol-simbol, dan juga kesadaran akan keberbedaan dengan kelompok etnik lain. Kemudian, keberbedaan itu diperkuat pula oleh bahasa etnik. Ini berarti bahasa etnik sangat penting dipelihara dan digunakan antaranggota warga etnik sebagai perwujudan jati diri.
Ketidakserasian hubungan dalam komunitas etnik yang juga komunitas tutur dengan lingkungan alam, berakar pula dari “penyalahgunaan” energi bahasa dan juga bertautan dengan disfungsi bahasa secara sosioekologis karena di balik sistem kode kebahasaan tersimpan makna dan nilai kultural dan natural. Fungsi simbolis dan makna referensial kode-kode lingual menjadi kabur oleh waktu, terutama oleh gerusan arus budaya global. Keterpinggiran dan ketercerabutan akar lokal berdampak pada kegoyahan jati diri kolektif, baik pada jenjang lokal keetnikan maupun jati diri sebagai bangsa Indonesia yang plural.
Bahasa tidak mesti hanya dipahami sebagai alat semata. Bahasa hidup dalam kompetensi dan performansi antaranggota guyub tutur itu, harus dipandang dan diposisikan sebagai organisme yang hidup dalam suatu ekosistem, dimanfaatkan sebagai sumber daya, energi, dan modal sosial-kultural. Sebagai masyarakat yang multietnik dan multilingual, secara fungsional bahasa itu selayaknya hadir secara adil, berimbang, serasi, dan merata antarguyub tutur dan guyub kultur. Dominasi perlu dicegah. Berkaitan dengan kerusakan ekosistem, termasuk lingkungan hidup manusia, energi bahasa dalam penggunaannya, jikalau tanpa kendali moral, dapat saja merusak tatanan alam dan tatanan sosial yang menjaga keseimbangan. Misi ekolinguistik kritis, dengan demikian perlu diemban demi pemulihan kembali hak hidup alam dan sesama dalam relasi yang harmonis, melalui pemberdayaan bahasa-bahasa etnik.
Dalam perspektif ekolinguistik, keetnikan dan kebahasaan dapat dipahami sebagai satu kesatuan, sebagai dua sisi mata uang, hadir bersebelahan dalam keutuhan. Jikalau bahasa boleh ditempatkan di sisi luar, ia berfungsi untuk merepresentasi dan mengemas isi jati diri keetnikan. Dalam perspektif ini pula, keredupan penggunaan atau daya hidup bahasa etnik, mencerminkan keredupan jati diri kolektif keetnikan pula. Sebaliknya, kelebatan penggunaan dan daya hidup kebahasaan yang bergairah, menengarai daya hidup keetnikan, seperti juga kebangsaan Indonesia, yang energik dan lestari. Fakta tentang daya hidup kebahasaan dalam konteks keetnikan, jelas sangat membutuhkan penelitian yang teratur, terfokus, dan berkesinambungan. Secara khusus, kaji tindak (action research) dengan memanfaatkan konsep, kerangka teori, dan metodologi ekolinguistik dapat digunakan, sehingga pemuliaan bahasa, etnik, dan lingkungan hidupnya dalam jalinan keterkaitan satu dengan yang lainnya, dapat diupayakan.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Khaidir 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Anderson, Benedict 2002. Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang.Penerjemah: Omi Intan Naomi. Jakarta: Pustaka Pelajar & Insist.
Azra, Azyumardi, 2007. Merawat Kemajemukan. Merawat Indonesia. Seri orasi budaya. Yogyakarta: Kanisius.
Barker, Chris, 2004 Cultural Studies. Teori & Praktik. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Bastardas-Boada, Albert, 2000. Language Planning and Language Ecology: Towards a theoretical integration. Barcelona: CUSC, Centre Universitari de Sociolinguistika I Communicacio, and General Linguistics Department, Universitat de Barcelona.
Beard, Adrian 2004. Language Change. London and New York: Routledge.
Bell, Roger T 1976. Sociolinguitics: Goals, Approaches, and Problems. New York: Martins Press.
Blum, Lawrence A 2001. “Antirasisme, Mulitikulturalisme, dan Komunitas Antar-ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural” dalam May Larry (Editor) 2001 Etika Terapan I. Sebuah Pendekatan Multikultural. Penerjemah: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Bundsgaard, Jeppe & Anna Vibeke Lindo (Eds), 2000. Dialctical Ecolinguistics. Three Essays for The Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Odense: University of Odense.
Culler, Jonathan 1996. Saussure. Penerjemah: Rochayah dan Siti Suhayati. Jakarta: Pusat Pembinan dan Pengembangan Bahasa.
Dove, Michael R 1985. Peranan Kebudayaan Tradsional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ferguson, Charles A. 1971 “National Sociolinguistics Profile Formulas” dalam Bright, William (Ed) 1971 Sociolinguistics. Proceedings of the UCLA Sociolinguistics Conference, 1964.The Hague, Paris: Mouton & Co.
Fill, Alwin and Peter Muhlhausler (eds.) 2001. The Ecolinguistics Reader. Language Ecology, and Environment. London and New York: Comtinum.
Habermas, Jurgen 2007. Teori Tindakan Komunikatif. Kritik atas Rasio Fungsionalis. Penerjemah: Nurhadi. Judul asli: Theorie des Kommunikativen Handelns, Band II: Zur Kritik der funktionalistischen Vernunft. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Halliday, M.A.K. 2001. “New Ways of Meaning: The Challenge to Apllied Linguistics” dalam Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (Eds.) The Ecolinguistics Reader. Language, Ecology, and Environment. London and New York: Continuum.
Halliday, M.A.K 1978. Language as Sosial Semiotic. The sosial interpretation of language and meaning. London: Edward Arnold.
Kymlicka, Will 2003. Kewargaan Multikultural. Penerjemah: Edlina Hafmini Eddin. Jakarta: LP3ES.
Makkai, Adam, et.al (Eds) 1984. The Semiotics of Culture and Language, Volume 2. Language and other Semiotic Systems of Culture. London: Frances Pinter Publisher.
Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (Eds.) 2003. The Ecolinguistics Reader. Language, Ecology and Environment. London and New York: Continuum.
Preziosi, Donald, 1984. “Relation between environmental and linguistic structure” dalam Fawcett, Robin P 1984 et. Al (Eds.) The Semiotics of Culture and Language Volume 2 Language and Other Semiotic Systems of Culture. London; Frances Pinter Publisher.
Purwanto, Hari 2007. “Suku Bangsa dan Epspresi Kesukubangsaan”. Makalah Seminar Sehari Memperingati Satu Tahun Wafatnya Prof. Dr. I Gusti Nguarh Bagus”, Oktober 2006.
Romaine, Suzanne 1995. Bilingualism. Second edition. Oxford UK & Cambridge: Blackwell.
Rosidi, Ajip 1999. Bahasa Nusantara. Suatu Pemetaan Awal. Gambaran tentang Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Tilaar, H.A. R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia.Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Volosinov, N. V. 1973. Marxism and the Philosophy of Language. Judul asli Markasizm I Filosofija Jazyka, Leningrad 1930. Penerjemah ke dalam bahasa Inggris: Ladislav Matejka & I. R Titunik. New York and London: Seminar Perss.
Wolf, Eric R. 1985. Petani, Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
Woollams, Geoff, 2004. Tata Bahasa Karo. Edan: Bina Media Perintis.

[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Guru Besar Semiotika Budaya UNUD Bali