Dialek Manus/Toe’/Bai’ Di Manggarai Timur
P. Jilis
Verheijen SVD, antropolog dan pakar linguistik adalah yang pertama kali
membagi wilayah daerah bahasa Manggarai ke dalam 4 bagian: dialek
barat, timur, tengah dan dialek SH. Di bagian barat ada dialek Kempo,
Boleng, Matawae, Welak dan dialek Komodo di pulau Komodo. Bagian
Manggarai tengah menggunakan bahasa Manggarai “murni” dan dianggap
sebagai monodialektis dengan aksen yang spesifikal sekali. Di bagian
timur kita temukan dialek dan bahasa-bahasa Rongga, Mbaen, Bai’/Toe’,
Pae’, Rembong dan Ning, masing-masing dengan spesifik yang memuat
pengaruh besar dari bahasa-bahasa Flores Tengah, seperti Ngada, Nage Keo
dan Lio. Dialek SH lebih mengacu kepada daerah-daerah Kolang, Pacar,
Berit, Rego dan Nggalak, di mana huruf “S” dari bahasa Manggarai
diucapkan sebagai “H”. Misalnya: “salang” (jalan) diucapkan “halang”.
Semua bahasa dan dialek di atas memiliki struktur dan gramatika yang
mirip dengan bahasa induk (Manggarai), meskipun banyak perbedaan dalam
kosakata, lafal dan pengucapan. Demikianlah, bahasa memiliki tiga
peranan penting dalam struktur sosial: sebagai bagian integral dari
budaya tersebut, sebagai indeks atau tanda pengenal dan sebagai simbol
ideologi masyarakat. (Willem Berybe: Triple Manggarai – Three in One,
Sir!, dalam http://tombokilo.blogspot.com/2007/12/riple-manggarai-three-in-one-sir.html)
Bagian
timur Manggarai yang telah menjadi kabupaten tersendiri, boleh dikatakan
sebagai wilayah yang cukup unik dari segi linguistik. Seperti telah
disebutkan di atas, terasa pengaruh besar dari bahasa-bahasa Flores
Tengah. Malahan beberapa daerah menggunakan bahasa tersendiri yang sulit
dimasukkan ke dalam rumpun bahasa Manggarai, seperti bahasa Rembong di
utara, Kepo dan Rongga di selatan. Sedangkan dialek-dialek seperti Mbaen
dan Bai’/Toe’ banyak mengasimilasi dan mengabsorbsi kosakata dari lingu
franca Manggarai.
Dialek
Toe’/Bai’ mencakupi daerah kedaluan (dulu) Manus., sehingga sering
disebut dialek/bahasa Manus. Para pengguna dialek ini sering di sebut
Ata Manus atau Ata Bai’. Akan tiba waktunya untuk menelusuri apa arti
kata Bai’ secara etimologis. Di bawah ini penulis mencoba menguak
beberapa rahasia dari dialek yang secara ironis dikenal sebagai dialek
„pukinde” (makian durhaka yang ditujukan kepada ibu, digunakan hanya di
wilayah Manus).
Di samping
akcent dan logat yang spesifikal, ciri khas dari dialek ini adalah
munculnya banyak serapan dari bahasa Flores Tengah, seperti seruan le
dan ko pada akhir kalimat-kalimat informatif yang membutuhkan ketegasan.
Misalnya kalimat informatif: Hari ini udara sangat panas – dalam dialek
Manus berbunyi sbb: Leso ghoo kolan ko. Seandainya hanya berbunyi:
Leso’ ghoo kolan, maka kalimat tersebut tidak berniat menegaskan aspek
sensasionalnya. Demikian juga dengan penggunaan le di akhir sebuah
kalimat, sebagai permintaan halus, misalnya: Bagi agu akun le – Tolong
bagikan denganku. Atau juga berarti penegasan, misalnya: Ata itu muing
le – Memang demikianlah adanya.
Yang
menarik juga adalah seruan ma/nde’ pada akhir kalimat, yang sering
menggambarkan penekanan aprobatif (mengakui) sebuah informasi: Di’a
mbaru dise’, ma/nde’… – Wah, rumah mereka indah sekali; dan juga
menekankan aspek „resignatif” atau kekesalan di dalam permohonan: Bagi
agu akun, ma/nde’ – tolong bagikan dengan saya. Di dalam kalimat ini,
seruan ma/nde’ menegaskan bahwa kegiatan „membagi” itu adalah keharusan
yang entah apa sebabnya diabaikan oleh pelaku. Ma ditujukan kepada lawan
bicara laki-laki, sedangkan nde’ kepada jenis kelamin perempuan. Arti
ketiga dari seruan personal ma’/nde’ adalah menggarisbawahi aspek
„ancaman” di dalam kalimat, dengan aksen yang sedikit dipertinggi pada
saat menyebutkan ma’/nde’.
Dialek
Manus sebenarnya adalah bahasa Manggarai yang “diperkasar” sebutannya,
disamping banyak kata serapan dari bahasa lain di Flores Tengah dan juga
kata-kata yang memang hanya masuk dalam golongan bahasa Manus. Hampir
setiap kata yang berakhir dengan vokal, selalu dibuat tekanan apostrofik
atau lazim dikenal sebagai glottal stop.
Misalnya: do menjadi do‘ yang berarti banyak; atau pau menjadi pau‘
(mangga). Sama seperti dialek SH, dialek ini cukup sering mengubah
lafalan huruf-huruf tertentu dari bahasa Manggarai, misalnya: C (di awal
kata) menjadi S (cesua – sesua = lusa), J menjadi Z; NG (di akhir kata)
menjadi N (jarang – zaran = kuda); E (di akhir suku kata) menjadi O
(enem – enom = enam; meseng – mesong = kemarin); H menjadi GH (hang –
ghan = makan/makanan).
Patut dicatat bahwa kendatipun perbedaan yang ada, dialek Manus tetap mengakui cukup banyak pepatah dan istilah adat Manggarai dalam dialek aslinya (dialek Manggarai Tengah), meskipun lafalannya kadang-kadang diperkasar. Misalnya: Paang olo ngaung musi menjadi Paan olo ngaung musi (istilah untuk sebuah keluarga atau kekerabatan); atau: Molor du ngon, lomes du kolen menjadi To’on molor lomes kole’n. (menggambarkan keberhasilan dalam meraih ilmu atau pengetahuan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar