Jumat, 31 Oktober 2014

                                                             KONSEP PENDIDIKAN
                                               HUMANISTIK YB. MANGUNWIJAYA, Pr.
A. Filsafat Manusia
Menurut Romo Mangun, manusia adalah makhluk yang berakal budi, animal rationale. Dalam arti, manusia mampu berpikir, menentukan pilihan, dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya atau lebih mudahnya makhluk merdeka. Dengan pengertian ini maka manusia mempunyai tanggung jawab atas apa yang dipilih dan diperbuatnya. Keterangan ini bisa ditemui banyak dalam belantara pemikiran Romo Mangun meski tidak secara eksplisit. Diantaranya sebagaimana yang dituturkan secara tersirat sebagai berikut:
“Namun yang lebih penting ialah kebenaran yang tidak abstrak, akan tetapi yang sudah menjelma, merealisasi diri dalam sikap serta tindakan manusia yang benar, yang tidak bohong, tidak menipu, tidak palsu, melainkan yang betul, yang genuine, yang asli atau dengan istilah lain: yang fitri. Dalam aspek itulah benar(verum) lalu mengejawantahkan diridalam yang baik (bonum) dan dalam pengetrapan khususnya: yang indah (pulcbrum) bila diteruskan ke dalam aspek pertanggungjawaban manusia yang berdaulat dan berkehendak merdeka, maka kebenaran berbunga menjadi yang bermoral, yang etis, yang susila.”[18].
Kemudian Romo Mangun juga menyatakan bahwa secara kodrat pada diri manusia sudah tertanam bakat-bakat atau potensi-potensi yang diberikan oleh Tuhan padanya. Diantara potensi-potensi tersebut ialah potensi ingin selalu tahu, ingin bertanya, ingin mengeksplorasi, ingin maju, ingin mekar dan ingin mencapai kepenuhan diri. Pandapat ini ia sandarkan pada pemikiran filusuf klasik Yunani, Socrates dan juga tokoh psikologi perkembangan anak kenegaraan Swiss, Jean Piaget[19].
Selain itu Romo mangun juga menyatakan bahwa pada dasarnya manusia ialah makhluk bahasa. Dalam arti manusia ialah makhluk yang mempunyai potensi berkomunikasi yang berguna atau digunakan sebagai alat untuk mengembangkan potensi-potensi awal yang dipunyainya. Bahasa yang dimaksud Romo Mangun di sini ialah bukan bahasa yang berarti sempit, yakni bahasa hanya symbol verbal komunikasi lisan, namun lebih dari itu, yaitu juga menyangkut komunikasi lain yang bermacam-macam bentuk, semisal bahasa tubuh, bahasa gerak, bahasa isyarat dan bahkan interaksi sosial[20]. Atau, jika meminjam pernyataan Paul Suparno, manusia pada dasarnya, dengan bahasa yang berarti luas pastinya, ialah makhluk sosial. Makhluk yang tidak bisa hidup dan berkembang menuju kesempurnaan tanpa bantuan atau bersama orang lain[21].
Selain manusia adalah makhluk yang bebas, mempunyai bakat atau potensi bawaan, dan makhluk bedimensi sosial, menurut Romo Mangun manusia juga makhluk yang bernilai dan ber-Tuhan. Manusia makhluk yang bernilai karena manusia adalah ciptaan Tuhan yang berharga, yang tidak dapat direndahkan atau diperkosa haknya. Terkait keyakinan ini terlihat jelas pada kegigihan Romo Mangun memperjuangkan kesejahteraan masyarakat miskin baik dari segi kesejahteraan rohani yakni dengan jalan pendidikan, maupun dari segi kesejahteraan jasmani semisal pendampingan warga tepi Kali Code dan warga korban pembangunan waduk Kedungombo dengan pembuatan perumahan[22].
Kemudian maksud manusia makhluk ber-Tuhan ialah makhluk yang memiliki dan membutuhkan Tuhan. Dalam arti untuk mengembangkan diri menjadi manusia yang penuh dan utuh, harus menjalin relasi yang baik dengan Tuhan yang menciptakannya. Dengan kesadaran ini maka manusia akan menjalin hubungan yang harmonis baik dengan sesama manusia maupun dengan alam semesta yang notabene-nya sebagai sama-sama makhluk Tuhan. Atau lebih mudahnya, kesadaran ketuhanan ini dijadikan dasar nilai untuk bercarapandang, bertindak, bersikap, dan juga nantinya dijadikan dasar nilai atas semua ilmu pengetahuan. Keterangan ini tertuang jelas pada pernyataannya tentang kurikulum yang ia analogikan dengan sebuah pohon yang dikutip oleh A. Supratiknya sebagai berikut:
“Akar-akar pohon mewakili mata pembelajaran sejarah dan geografis yang berfungsi memberikan identitas dan orientasi diri kepada anak. Batang pohon mewakili mata pembelajaran bahasa, matematika dan sains yang berfungsi memberikan bekal ketrampilan yang efektif untuk berkomunikasi dan memahami realitas lingkungan benda, flora dan fauna. Mahkota daun mewakili berbagai mata pembelajaran ekspresi dan ketrampilan yang berfungsi memberikan bekal untuk pengolahan alam baik di dalam maupun diluar manusia. Diterangi oleh matahari yang mewakili religiusitas dan bulan yang mewakili budi etis pancasila, semua itu dimaksudkan menjadi kesatuan organis yang utuh dan harmonis.[23]”
Beberapa pokok pemikiran filsafat manusia ini kemudian dijadikan prinsip hidup Romo Mangun yang ia sebut dengan Tri Bina, yakni bina manusia, bina usaha, dan bina lingkungan. Dan pastinya, prinsip hidup ini juga akan mempengaruhi konsep pendidikannya[24].
B. Filsafat Pengetahuan
Filsafat yang membicarakan tentang pengetahuan ini disebut dengan epistemology[25]. Menurut filsafat (epistemology) klasik pengetahuan itu sudah ada dan sudah jadi. Tugas guru ialah mentransfer pengetahuan itu ke dalam otak anak didik, sehingga anak didik menjadi tahu. Filsafat ini dilandaskan pada filsafat John Locke yang mengatakan bahwa anak didik adalah bagaikan selembar kertas putih atau tabula rasa. Lalu tugas guru di sini ialah memberi tulisan-tulisan pada kertas kosong tersebut[26].
Kemudian menurut Romo Mangun, yang nota bene-nya pengikut dari filsafat konstruktifisme[27], pengetahuan itu adalah bentukan (konstruksi) siswa sendiri yang belajar. Jadi pengetahuan ialah bukan hal yang sudah jadi, melainkan proses menjadi. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Romo Mangun sebagai berikut:
Anak aktif mengkonstruksi atau mereka-reka sendiri konsep atau gambaran tafsiran dalam pikirannya tentang apa yang ia lihat dan alami secara berkesinambungan terus menerus. Dari konsep rekaan tafsiran yang satu ke konsep rekaan tafsiran yang lain.
Proses pengembangan intelegensi si anak adalah proses bersinambung dalam pikiran anak yang terus-menerus membuat rekaan gambaran baru tentang segala apa yang sudah ia ketahui terdahulu[28].
Untuk lebih jelasnya tahap-tahap dari proses mengetahui ini ialah sebagaimana yang dicontohkan Romo Mangun berikut:
Sang ibu memberi tahu anaknya bahwa benda yang dilihatnya itu disebut khutuk. Untuk sesaat anak merasa puas dengan pengetahuan itu, kepuasan ini disebut equilibrium (keseimbangan). Kata khutuk akan muncul dalam benak si anak setiap melihat anak ayam yang lain, dan proses ini disebut sebagai asimilasi (pencernaan). Ketika suatu saat si anak melihat seekor anak itik berenang di selokan keseimbangan tentang khutuk terganggu. Ia melihat khutuk yang bentuknya berbeda dan bisa berenang. Ketidakseimbangan ini disebut disequilibrium. Ketidakseimbangan ini membuat si anak menafsir ulang konsep pengetahuannya terdahulu, proses ini disebut akomodasi (suatu penyesuaian diri dengan situasi baru). Proses akomodasi ini memunculkan kata baru “khutuk banyu”. Proses mengatasi disequilibrium ini disebut dengan equilibration. Ketika sang ibu memberi tahu kata “meri” untuk sebutan khutuk banyu yang dikenal sebelumnya, si anak tidak merasa kesulitan sebab hanya tinggal soal nama. Pembentukan konsep baru telah terjadi ketika si anak mengkonstruksi binatang kecil yang bisa berenang di selokan sebagai khutuk banyu[29].
Dari uraian di atas, Romo Mangun ingin memperlihatkan bahwa proses bertanya anak sudah dimulai sejak mereka mulai berinteraksi dan belajar mengenali lingkungan yang ada disekitarnya, dan akan terus berkembang seumur hidupnya. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar gagasannya tentang konsep Belajar Sejati, yakni sebuah tahap di mana seseorang punya kesadaran diri untuk memperhatikan, mempelajari, dan menekuni segala hal yang dialaminya sehari-hari secara terus-menerus[30]. Jadi ‘Belajar Sejati’ merupakan proses belajar yang tidak terikat oleh tempat dan waktu, atau lebih mudahnya belajar tidak harus melalui sekolah formal, namun bisa kapan saja dan di mana saja.
C. Visi Pendidikan
Dengan berlandaskan keyakinan-keyakinan di atas, menurut Romo Mangun visi pendidikan tidak lain ialah ‘Belajar Sejati’ itu sendiri, yakni mengantar dan menolong anak didik untuk mengenal dan mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri, dewasa, dan utuh; bukan Cuma menjadi kepingan serba pasrah belaka kepada mesin besar yang tak dia ketahui susunannya dan arahnya; manusia merdeka sekaligus peduli dan solider dengan sesama manusia lain dalam ikhtiar meraih kemanusiaan yang terjadi, dengan jati diri serta citra diri yang semakin utuh harmonis dan integer[31].
Kemudian, supaya ‘Belajar Sejati’ tersebut terwujud, Romo Mangun menunjuk dua kompetensi dasar yang harus diterapkan dan dikuasai anak didik. Pertama, kemampuan komunikasi dan penguasaan bahasa yang dilengkapi dengan kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan sesama[32]. Kedua, pemekaran jiwa anak yang eksploratif, kreatif, dan integral. Kemampuan eksploratif membuat anak suka mencari, bertanya, dan menyelidik. Kemampuan kreatif membuat anak bisa mencipta hal-hal baru yang lebih baik dan berguna. Kemampuan integral membuat anak bisa melihat dan menghadapi beragam segi kehidupan dalam keterpaduan yang utuh[33].
D. Konsep Kurikulum
1. Orientasi
Romo Mangun mengkritik kurikulum nasional mulai dari kurikulum 1974, 1984, dan kurikul 1994. atau bahkan kurikulum sekarang jika sifatnya sama dengan kurikulum pada masa-masa kehidupannya itu. Menurut Romo Mangun kurikulum-kurikulum tersebut hanya menekankan pada aspek kognitif saja. Sebab hanya menekankan pada sisi materi (padat Materi) dan melupakan sisi ketrampilan dan amalnya. Ditambah lagi kesemuannya itu telah ditentukan secara seragam oleh pemerintah pusat, baik beban mata pelajaran, cara pengajaran, dan system evaluasinya (THB, NEM, dan EBTA) yang mengakibatkan anak didik buta dengan lingkungan sekitar serta kehilangan daya kreitifitas dan eksplorasi yang akan menuntunnya pada belajar sejati. [34]. Kemudian untuk mencapai tujuan tersebut, menurut Romo Mangun kurikulum harus bersifat kontekstual, dimanis, dan berdasar pada kebutuhan, kemampuan, potensi dan jenjang umur anak didik[35].
Selain itu, supaya anak didik mampu menghadapi dunia yang semakin menglobal sebagaiman sekarang, menurut Romo Mangun kurikulum juga harus diarahkan pada sasaran itu. Artinya, kurikulum juga harus memberikan alat pada anak didik untuk menghadapinya. Menurutnya, alat yang perlu diberikan pada anak didik terkait ini ialah penguasaan teknologi dan bahasa. Bahasa yang tidak berarti sempit, yakni hanya sebagai alat komunikasi verbal, namun bahasa yang berarti luas yang juga menyangkut tentang kemahiran interaksi. Sebab, dengan ini anak didik bisa mengakses informasi dan ilmu pengetahuan bertaraf internasional dengan mudah dan juga mampu mengkomparasikannya dengan pengetahuan yang dimiliki oleh orang lain. Terkait ini Romo Mangun mengutip kata mutiara “penguasaan bahasa X adalah anak kunci dunia dan harta perbendaharaan budaya bangsa X itu”[36].
Hal yang perlu diperhatikan lagi ialah terkait keberagaman potensi, bakat-minat, daya tangkap dan kecenderungan yang dimiliki oleh anak didik. Diakui atau tidak hal ini adalah sunah alam yang harus dihargai dan dikembangkan. Kurikulum tidak bisa dipaksakan pada anak didik, biarkan mereka memilih sendiri sesuai dengan kecenderungannya. Sebab anak kunci yang paling menentukan bagi perkembangan anak didik pada hakikatnya ialah perhatiannya (concern), pilihan pribadinya, dan di mana hatinya[37]. Maka dari itu, Romo Mangun sangat menolak system yang otoriter, doktriner dan sentralisasi.
Dari uarain panjang tersebut bisa dipahami bahwa orientasi kurikulum yang digagas oleh Romo Mangun ialah orientasi kemandirian anak didik dengan pola-pola kurikulum yang kontekstual, dinamis, demokrasi, humanis, menganut system desentralisasi, dan ia menolak kurikulum yang berakhir pada pembunuhan karakter anak didik, a histories dan padat isi.
2. Isi/ Materi
Sebagaimana telah diulas pada sub bab sebelumnya, bahwa kurikulum harus bersifat kontekstual, dinamis, bertumpu pada kemampuan dan kebutuhan anak didik, maka di sini peneliti paparkan beberapa mata pelajaran yang diterapkan oleh Romo Mangun di SDKEM sekaligus dasar pemikiran yang melatarinya, mata pelajaran tersebut sebagaimana berikut:
a.    Pendidikan Seni
Pendidikan seni di sini tidak bermaksud agar anak didik menonjol dalam mementaskan seni, namun lebih bertujuan untuk membina cita rasa, kepekaan kebudiawanan yang mengarah kearifan anak didik. Selain itu pendidikan seni juga berguna untuk mempertajam pikiran, kreativitas dan mnyehatkan tubuh[38].
a.    Olah Raga
Tujuan mata pelaran ini ialah selain memang untuk menjadikan tubuh anak didik sehat, juga juga bertujuan untuk menumbuhkan jiwa sportif dan fair anak didik. Jadi bukan bertujuan untuk menang atau berjaya dalam bermain, namun lebih menekankan nilai dan manfaat yang terkandung di dalamnya[39].
a.    Pendidikan Keterampilan
Tujuan pelajaran ini adalah agar anak didik harus belajar untuk yakin, bahwa semua pekerjaan tangan atau kasar, terutama yang dikerjakan oleh rakyat kalangan bawah, sungguh-sungguh berguna, berharga, dan mengharukan. Dalam arti tujuan pendidikan ini ialah untuk menghilangkan rasa minder, pesimis dan canggung anak didik dalam segala hal[40].
a.    Pendidikan Bahasa dan Komunikasi
Tujuan pendidikan ini ialah untuk memberi bekal anak didik untuk masa depannya nanti. Dengan penguasaan bahasa, baik bahasa komunikasi interaksi maupun bahasa verbal, baik bahasa nasional maupun bahasa internasional, anak didik mampu hidup di manapun. Selain itu dengan bekal ini anak didik juga akan mudah untuk menyerap informasi dan ilmu pengetahuan secara mandiri. Sehingga wawasan yang dimilikinya bisa lebih luas dan bertambah[41].
a.    Pelajaran IPA dan IPS
Pelajaran ini diberikan sesuai dengan kebutuhan anak didik. Dalam arti dipilah mana yang perlu diketahui dan mana yang tidak ada salah dan ruginya jika tidak diketahui. Yang penting diketahui adalah kunci dan anak kunci serta rahasia-rahasia di mana ada dan bagaimana cara memperoleh informasi atau pengetahuan. Dan yang jelasnya lagi, kesemuanya itu harus sesuai dan relevan dengan kehidupan keseharian anak didik[42].
a.    Komunikasi Iman
Pengajaran ini berangkat pemahaman bahwa sesungguhnya setiap anak telah berbakat religius. Tapi bakat religius anak itu perlu dibantu. Dalam pelajaran ini yang diutamakan bukan pengetahuan tentang agama, melainkan mendampingi anak didik demi pemekaran sikap dasar dari dalam diri berupa hati nurani dan niat serta tekad untuk berbuat, khususnya berbuat cinta kasih. Jadi komunikasi iman tidak lagi berupa pengajaran, penataran, hafalan belaka, tentang agama. Namun yang terjadi adalah dialog, komunikasi, interaksi dan terutama perbuatan antar iman yang dimiliki oleh anak didik dan civitas akademik[43].
Dari sini bisa dipahami bahwa tujuan mendasar pendidikan komunikasi iman ini ialah menumbuhkan sikap religius anak, yakni agar anak didik semakin punya sikap dasar yang betul, hati nurani yang peka terhadap yang baik dan menolak segala yang buruk. Dan juga, dengan komunikasi iman ini anak didik diharapkan mampu menghormati perbedaan dan keberagaman.
Terkait religiusitas, Romo Mangun membedakannya dengan agama. Yang pertama menekankan substansi, sementara yang kedua berhenti pada formalitas[44]. Seorang yang beragama secara legal-formal, tidaklah praksis menjadi religius, jika pada kenyataannya seluruh aktifitasnya disandarkan pada pemenuhan kebutuhan duniawi dan mengabaikan kemanusiaan serta kesetabilan alam. Begitupun sebaliknya, seseorang bisa menjadi religius jika seluruh aktivitasnya disandarkan secara sungguh-sungguh dengan pengabdian pada ketuhanan, kemanusiaan, dan keseimbangan alam[45].
Bagi Romo Mangun, pengajaran agama tetap perlu dilaksanakan, namun tempatnya adalah di dalam keluarga, di masjid, gereja, dan tempat ibadah lainnya, bukan di sekolah. Sekolah harus bersifat dan bersikap inklusif, terbuka bagi murid dari berbagai agama[46].
a.    Matematika
Menurut Romo Mangun, pelajaran matematika adalah pelajaran penting kedua setelah bahasa karena membantu anak untuk dapat berpikir logis, kritis, teliti, berabstraksi, bisa mengambil keputusan, dan kreatif[47]. Hal ini sama dengan yang dinyatakan oleh J. Drost, tokoh yang sering mengkonter pemikiran Romo Mangun. Menurutnya, meski matematika adalah ilmu kuantitas, namun mengajarkan seseorang bernalar logis[48].
h. Kotak Pertanyaan, Baca Buku Bagus, dan Majalah Meja
Ketiga mata pelajaran ini beserta mata pelajaran komunikasi iman dan pendidikan seni, bisaanya diadakan pada setiap hari Sabtu dan menjadi mata pelajaran khas SDKEM. Kelima mata pelajaran khas tersebut merupakan cara untuk melatih kepekaan anak didik untuk mencermati lingkungan keseharian[49].
Kotak pertanyaan berfungsi untuk menampung pertanyaan-pertanyaan anak didik tentang sesuatu yang dianggap belum tahu. Pertanyaan-pertanyaan yang terkumpul kemudian dibahas bersama-sama pada hari Sabtu siang. Lalu dengan baca buku bagus, anak didik diajak untuk memperluas cakrawalanya, diajak keluar dari tempurung tradisionalisme konservatifnya, diajak mengenal kebudayaan lain, dan diajak mengenal dialektik antar sana dan sini. Hal ini dilakukan dengan cara guru bercerita kepada murid[50].
Kemudian, dengan adanya majalah meja, anak didik bisa langsung belajar dengan hanya melihat meja yang ditempatinya. Artinya bagaimana membuat anak didik dekat dengan bahan atau sumber pengetahuan. Majalah meja ini diisi dengan artikel-artikel baik dari koran maupun majalah yang diganti setiap hari Minggu oleh staf[51].
1.    Evaluasi
Terkait evaluasi, Romo Mangun tidak setuju dengan system evaluai normative sebagaimana THB, UAN, NEM dan Ebtanas. Apalagi kesemuanya ini dilakukan dengan cara top down. Sebab, system evaluasi ini menurutnya hanya akan membunuh daya kreatifitas dan eksplorasi anak didik, kemudian membuat belajar hanya untuk mengejar nilai, menghilangkan rasa solidaritas serta kerja sama, menyuburkan komersialisasi buku-buku wajib dan lain-lain yang sering sungguh justru memperbodoh murid, semisal menjamurnya bimbingan tes, tempat kursus yang menggunakan system drill dan serba mahal[52].
Selain itu, menurut Romo Mangun evaluasi harus mengikutsertakan orang tua murid. Keikutsertaan orang tua sangat diharapkan agar bisa mengetahui kegiatan anak didik ketika berada dirumah. Sebab untuk mencapai pada ‘Belajar Sejati’ anak didik diharapkan tidak hanya belajar di sekolah saja, namun dimana saja dan kapan saja, baik di sekolah atau ketika berada di rumah. Maka komunikasi antara Guru dan wali murid menjadi faktor penting[53].
Terkait dengan absensi, Romo Mangun tidak terlalu menghiraukan. Sebab, menurutnya mau berangkat sekolah atau tidak itu ialah kebebasan dari anak didik. Namun, di SDKEM, jika anak didik tidak berangkat lebih dari tiga hari, maka guru atau pihak sekolah akan mendatangi rumahnya dan menanyakan apa masalah atau penyebabnya. Jika karena masalah dana, maka pihak sekolah akan mencarikan solusianya.
Dengan dasar di atas, maka absensi tidak mempengaruhi naik kelas atau tidaknya anak didik, jika dia mampu melalui tes yang diadakan maka dia bisa naik kelas. Bahkan, Romo Mangun tidak setuju adanya keputusan tidak naik kelas. Anak yang tinggal dikelas dikhawatirkan membuat anak didik patah semangat karena malu, kehilangan teman-temannya dan merasa jadi anak yang paing bodoh[54].

Senin, 27 Oktober 2014


                                                        TERAPI RASIONAL EMOTIF 

              Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional Emotif mulai dikembangan di Amerika pada tahun 1960-an oleh Alberl Ellis, seorang Doktor dan Ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga seorang eksistensialis dan juga seorang Neo Freudian. Teori ini dikembangkanya ketika ia dalam praktek terapi mendapatkan bahwa sistem psikoanalisis ini mempunyai kelemahan-kelemahan secara teoritis (Ellis, 1974).
Teori Rasional Emotif ini merupakan sintesis baru dari Behavior Therapy yang klasik (termasuk Skinnerian Reinforcement dan Wolpein Systematic Desensitization). Oleh karena itu Ellis menyebut terapi ini sebagai Cognitive Behavior Therapy atau Comprehensive Therapy.
Konsep ini merupakan sebuah aliran baru dari Psikoterapi Humanistik yang berakar pada filsafat eksistensialisme yang dipelopori oleh Kierkegaard, Nietzsche, Buber, Heidegger, Jaspers dan Marleu Ponty, yang kemudian dilanjutkan dalam bentuk eksistensialisme terapan dalam Psikologi dan Psikoterapi, yang lebih dikenal sebagai Psikologi Humanistik.

A. Konsep-Konsep Utama

           Terapi rasional emotif (TRE) adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.
Terapi rasional emotif menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakat. Manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain.
TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara stimulan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan- perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik.
Menurut Allbert Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat individu sebagai makhluk unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan, untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang telah diintroyeksikannya secara tidak kritis pada masa kanak-kanak, dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri. Sebagai akibatnya, mereka akan bertingkah laku berbeda dengan cara mereka bertingkah laku di masa lampau. Jadi, karena bisa berpikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya berubah, mereka bukan korban-korban pengkondisian masa lampau yang pasif.

Unsur pokok terapi rasional-emotif adalah asumsi bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah Menurut Ellis, pilaran dan emosi merupakan dua hal yang saling bertumpang tindih, dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan diprasangkakan sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang intristik. Pikiran-pikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain, pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengarulu pikiran. Pikiran seseorang dapat menjadi emosinya, dan emosi dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi pikiran.
Pandangan yang penting dari teori rasional-emotif adalah konsep hahwa banyak perilaku emosional indiuidu yang berpangkal pada “self-talk:” atau “omong diri” atau internatisasi kalimat-kalimat yaitu orang yang menyatakan kepada dirinya sendiri tentang pikiran dan emosi yang bersifat negatif. Adanya orang-orang yang seperti itu, menurut Eilis adalah karena: (1) terlalu bodoh untuk berpikir secara jelas, (2) orangnya cerdas tetapi tidak tahu bagaimana berpikir secara cerdas tetapi tidak tahu bagaimana herpikir secara jelas dalam hubungannya dengan keadaan emosi, (3) orangnya cerdas dan cukup berpengetahuan tetapi terlalu neurotik untuk menggunakan kecerdasan dan pengetahuan seeara memadai.
B.Terapi Rasional – Emotif dan Teori Kepribadian

             Neurosis adalah pemikiran dan tingkah laku irasional. Gangguan-gangguan emosional berakar pada masa kanak-kanak, tetapi dikekalkan melalui reindoktrinasi sekarang. Sistem keyakinan adalah penyebab masalah-masalah emosional. Oleh karenanya, klien ditantang untuk menguji kesahihan keyakinan-keyakinan tertentu. Metode ilmiah diterapkan pada kehidupan sehari-hari.
Emosi-emosi adalah produk pemikiran manusia. Jika kita berpikir buruk tentang sesuatu, maka kita pun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang buruk. Ellis menyatakan bahwa "gangguan emosi pada dasarnya terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa disahihkan, yang diyakini secara dogmatis dan tanpa kritik terhadapnya, orang yang terganggu beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah".
TRE berhipotesis bahwa karena kita tumbuh dalam masyarakat, kita cenderung menjadi korban dari gagasan-gagasan yang keliru, cenderung mendoktrinasi diri dari gagasan-gagasan tersebut berulang-ulang dengan cara yang tidak dipikirkan dan autsugestif, dan kita tetap mempertahankan gagasan-gagasan yang keliru dalam tingkah laku overt kita. Beberapa gagasan irasional yang menonjol yang terus menerus diinternalisasikan dan tanpa dapat dihindari mengakibatkan kesalahan diri.


Jumat, 24 Oktober 2014

                                        KURIKULUM PENDIDIKAN

By: INO SUHARTONO

            Apakah bobroknya sistim pendidikan Indonesia juga mempengaruhi pembodohan siswa? Pembodohan siswa juga dipengaruhi oleh buruknya sistim pendidikan. Namun apakah benar sekarang sistim pendidikan dinegara kita benar-benar telah buruk sehingga menghancurkan pertahanan dan kekuatan pendidikan kita yang pada era 50-an menjadi sorotan Negara tetangga kita yang sekarang telah maju seperti Singapura dan Malaysia. Semua hak cipta pendidikan kita seakan-akan dirampas oleh mereka sehingga Indonesia yang pada awalnya masih berada pada peringkat lebih atas dari mereka tersudut dengan kebodohan sendiri dan hanya mampu mengatakan wah…mereka hebat!!!.... padahal kita seharusnya malu dan berusaha merebut kembali citra pendidikan kita dengan terus bersemangat serta berdoa dan beriktiar untuk memajukan dan mengembangakan pendidikan.
Miris rasanya jika kita melihat realita saat ini. tirani kebodohan dan pembodohan masih terus bercokol di berbagai pelosok nusantara. lihat saja kurikulum pendidikan kita saat ini yang masih mengacu pada pedoman era industry. dimana sekolah-sekolah dan tempat universitas sekalipun secara berkesinambungan hanya mencetak para robot agar bisa bekerja, bekerja dan bekerja. terbukti ketika terjadi pembukaan lowongan pns, yang di butuhkan  cuma 60, yang mendaftar bisa sampai 3000 orang. tidak hanya itu, lowongan pekerjaan swastapun demikian halnya. Pengangguran intelektual kita saat ini sudah mencapai jutaan orang. Apakah tidak ada evaluasi sama sekali terhadap kasus tersebut untukbisa  merancang sebuah arsitek pembangunan SDM masa depan yang bermutu ?
dan ini baru satu kasus, masih begitu banyak tirani kebodohan dan pembodohan lain yang bisa kita kuak. dan ini artinya kita benar-benar belum merdeka.

            Benarkah desentralisasi akan meningkatkan mutu pendidikan dinegri kita yang tercinta ini? Coba kita renungkan, pertama kebijaksanaan desentralisasi memerlukan pelaksanaan-pelaksanaan yang bertanggungjawab, inovatif, kreatif dan berjiwa mandiri. Karena pengalaman dibawah sistim pendidikan sentralisasi yang cukup lama dan berlebihan, maka pelaksanaan pendidikan dengan sifat-sifat diatas tidak banyak. Pelaksanaan pendidikan kita sudah terbiasa dengan intruksi ,juklak,dan juklis. Sehingga adanya kebijaksanaan desentalisasi setidak-tidaknya untuk waktu tertentu akan menimbulkan kemandekan dalam dunia pendidikan. Kedua, desentralisasi mungkin bisa meningkatkan kwalitas pendidikan dalam arti meningkatkan penguasan anak atas mata pelajaran yang diberikan sebagaimana ditunjukkan oleh scor test. Tetapi desentralisasi belum merupakan jaminan bisa ditingkatkan eksternal efisiensi, dalam arti dalam lulusan sekolah bisa mendapatkan dan melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya.
Tembok yang kokoh kuat sebagaimana tembok berlin memisahkan dunia pendidikan “ dunia kerja” difihak lain. Adanya tembok pemisah tersebut menjadikan adanya kesenjangan antara kedua dunia tersebut. Akibatnya hubungan antara dunia pendidikan dan dunia kerja tidak harmonis. Kemajuan yang terjadi didunia kerja tidak bisa disadap secsra cepat oleh dunia pendidikan tidak cocok dengan kebutuhan kerja. Dan adanya penganguran bersamaan kekurangan tenaga kerja didunia kerja tidak bisa dielakkan lagi.
Penghilang tembok pemisah antara dunia kerja dan dunia pendidikan atau deberlinisasi ini sangat diperlukan untuk melengkapi desentralisasi. Sebab desentralisasi hanya akan meningkatkan penguasaan pelajaran, tetapi bukan meningkatkan kemampuan bekerja. Deberlinisasi berarti memberikan kesempatan orang-orang dari dunia pendidikan mendapatkan sesuatu yang rill daru dunia kerja, sebaliknya orang yang dari dunia kerja bisa mendapatkan informasi-informasi dari dunia pendidikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dunia kerja. Demikian pula, tenaga-tenaga ahli dari dunia kerja diajak untuk mengembangkan kurikulum pendidikan,bahkan sudah masanya mereka ini diundang masuk kedunia pendidikan. Kehadiran tenaga dari dunia kerja ini tidak hanya akan menjadikan apa yang disampaikan sangat menarik sehingga sehingga meningkatkan aspek kognitif mahasiswa atau siswa, tetapi yang lebih penting lagi, kehadirannya akan semangat dan metalitas dunia kerja kedalam dunia pendidikan.

     Energi bangsa kita suadah banyak terbuang sia-sia untuk menciptakan tembok-tembok pemisah yang melahirkan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala beban kurikulum yang luar biasa beratnya. Padahal, jika potensi (IQ) siswa hanya 90 atau 100, diberi pelajaran tambahan berapapun, tidak akan meningkatkan hingga 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan pada bidang keterampilan untuk menyiapkan 85% penduduk agar mereka siap dan terampil untuk bekerja secara profesional, mencintai pekerjaannya dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi Indonesia tidak separah sekarang (Megawangi 2008).
Lihatlah sejenak anak-anak yang lebih memilih nongkrong di jalan bahkan dengan bangganya menghisap rokok dan mereka benar-benar tidak memiliki rasa malu dengan atribut lengkap yang masih mereka kenakan (seragam) yang bahkan mencantumkan namanya dan identitas sekolah yang sangat lengkap. Lantas pertanyaanpun muncul, apa sebenarnya titik masalah yang mereka hadapi? Apakah permasalahan ekonomi? Keluarga? Lingkungan masyarakat yang tidak mendukung? Atau kah lingkungan akademik yang seakan-akan menganggap mereka kaum ‘terpinggirkan’ karena tidak sekompeten siswa yang lainnya sehingga jalanlah pilihan mereka dibandingkan sekolah yang di create untuk menimba ilmu sebanyak mungkin sehingga menghasilkan insan-insan akademisi unggul. Lantas bukankah Tuhan membekali manusia dengan struktur otak yang sama, dan ketika manusia dilahirkan benar-benar pure semuanya sama tidak memiliki pengetahuan sama sekali karena pengetahuan tumbuh tidak terlepas dari di mana dan pada lingkungan seperti apa ia dibesarkan.
Erik Erikson (1902-1994) berpendapat bahwa perkembangan emosi positif sangat penting dalam perkembangan jiwa anak, dan ini sangat bergantung pada peran orangtua dan guru. Memasuki usia 18 bulan sampai 3,5 tahun seorang anak memasuki tahap autonomy vs shame/doubt (kemandirian vs ragu/malu) dalam tahapan ini anak akan mempunyai rasa malu dan ragu tentang kemampuan dirinya. Mereka hendaknya dibiarkan bebas bereksplorasi dan bereksperimen walau tetap dalam pengawasan orangtua. Anak yang sering dilarang, dimarahi, serta dihukum pada tahapan ini akan menjadi pribadi yang apatis dan rendah diri. Ia juga akan menjadi ragu dalam proses pengembangan identitas kepribadiannya yang unik karena takut dianggap berbeda. Usia 3,5-6 tahun anak memasuki tahap initiative vs guilt (inisiatif vs merasa bersalah) seorang anak yang baik pada tahapan sebelumnya berpotensi berkembang ke arah yang positif (kreatif, antusias, aktif bereksperimen, imajinatif, berani mencoba, berani mengambil resiko, dan senang bergaul dengan kawannya). Kesemuanya ini bergantung kepada lingkungan belajar anak yang kondusif, jika pada masa ini anak sering dikritik, maka emosi yang timbul adalah negatif (selalu timbul perasaaan bersalah atas apa yang telah ia kerjakan) ketika anak diberikan tanggung jawab dan semakin ia merasa bertanggung jawab, maka anak semakin mempunyai inisiatif. Usia 6-10 tahun anak memasuki tahap industry vs inferiority (berkarya/etos kerja vs minder) masa ini merupakan masa kyang sangat kritis bagi anak, di mana anak mengembangkan kepercayaan dirinya bahwa mereka mampu untuk berkarya dan bereksplorasi. Seharusnya pada masa ini anak paling antusia belajar dan berimajinasi. Pada masa ini yang harus ditimbulkan pada perasaan anak seperti “Aku bisa”, “Aku pintar”, “Aku anak baik”,dll. Karena bila perasaan ini tidak ditimbulkan maka akan timbullah perasaan rendah diri atau minder seperti “Aku bodoh”,”Aku tidak bisa berkarya”,dll. Apabila perasaan negatif ini terus timbul maka akan terbawa hingga ia dewasa.
              Merujuk pada tahapan-tahapan perkembangan tersebut yang ternyata masuk ke dalam usia pra sekolah dan sekolah dapat ditarik kesimpulan bahwa usia-usia tersebut merupakan masa yang sangat penting dimana antusias dan kepercayaan diri pada diri anak di bangun. Dapat dibayangkan apabila ternyata anak justru tidak mendapatkan kondisi positif untuk belajar dan mengembangkan dirinya. Mari sejenak kita mengingat bagaimana sistem ranking diterapkan. Ranking di kelas berarti secara gamblang memberikan informasi atas pencapaian kognitif siswa di kelas. Hal ini bukanlah menjadi suatu masalah bagi anak yang memiliki kemampuan kognitif yang baik tetapi bagaimana dengan anak yang justru kecerdasannya bukan dikognitif, bagaimana perasaan anak ketika misalnya ia mendapatkan ranking terakhir di kelas, bukankah secara tidak langsung hal ini menimbulkan rasa minder, bodoh, bahkan mungkin merasa menjadi siswa yang tidak berguna. Belum lagi ketika ternyata keluarganya bukannya malah mensupport tetapi justru memojokan anak sehingga melekatlah citra ‘produk gagal’. Lantas jika ini terus-terusan berlanjut maka anak akan mencari ‘pelarian’, dimana anak akan mencari lingkungan yang benar-benar dapat menerimanya dan tidak menganggap dia sebagai ‘produk gagal’ yang tidak berguna. Maka tidaklah heran kalau ternyata kini angka kenakalan remaja seperti free sex, geng motor, tawuran, dll dikalangan usia sekolah tinggi.
Padahal menurut Howard Gardner orang yang pertama mencetuskan istilah multiple intelligences (kecerdasan majemuk). Konsep ini memperkenalkan bahwa manusia belajar dan berhasil melalui berbagai kemampuan kecerdasan yang tidak terukur oleh IQ. Menurut Gardner, definisi cerdas adalah “Kemampuan memecahkan masalah atau kemampuan berkarya menghasilkan sesuatu yang berharga untuk lingkungan sosial, budaya, atau lingkungannya”. Gardner membagi kecerdasan kedalam 9 aspek yaitu: picture smart (spasial) kemampuan tinggi dalam memvisualisasikan fenomena dalam bentuk gambar, people smart (kecerdasan interpesonal) kemampuan sosialisasi yang baik, ciri kecerdasan ini ialah mudah menyelesaikan konflik dengan orang lain, body smart (kecerdasan kinestik) cepat mempelajari dan menguasai kegiatan-kegiatan yang melibatkan fisik, baik motorik kasar maupun halus, word smart (kecerdasan bahasa) mampu mengekspresikan pikirannya secara verbal maupun tulisan, self smart (kecerdasan intrapersonal) mudah mengenali perasaan diri (puisi,drama,meditasi,menulis jurnal, dan bercerita), sound Smart (kecerdasan musik), nature smart (kecerdasan mempelajari alam) mempelajari fenomena alam (biologi), number smart (kecerdasan logika matematika), spiritual smart (kecerdasan spiritual) menyadari adanya saling keterkaitan antara dirinya dengan manusia lain, serta lingkungannya, kemampuan berpikir dalam tentang makna hidup.
Anak-anak yang mempunyai masalah dalam perkembangan emosi sosialnya akan mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak dapat mengontrol emosinya.Aspek kecerdasan emosi anak dapat membantu anak dalam mengembangkan potensi-potensi lainnya secara lebih optimal. Bahkan anak yang tadinya kelihatan agak terbelakang, dengan diberikan perhatian dan lingkungan belajar yang kondusif untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya, dapat membuat anak tersebut mampu mengikuti pelajaran sekolah dengan baik (Megawangi 2004).

               Pertanyaanpun muncul, bukankah dengan diterapkannya sistem ranking anak akan terpacu untuk belajar lebih baik lagi dengan harapan anak dapat meraih prestasi sebaik mungkin. Ya itu memang betul, dengan diterapkannya sistem ranking maka akan menimbulkan persaingan sehingga setiap individu akan berlomba-lomba untuk mendapatkan hasil yang terbaik tetapi ingat ini hasil untuk apa dan untuk siapa, kalau toh ini hanya berpusat pada pencapaian dan keberhasilan individu maka jangan salahkan jika begitu banyak masyarakat kita yang memiliki sifat individualis yang tinggi (bukankah ketika Anda meraih tingkatan tertinggi Anda telah mengalahkan orang lain, dan untuk mempetahankan posisi Anda, Anda akan melakukan segala upaya untuk tetap mempertahankannya dan ketika posisi Anda beralih kepada orang lain Anda tidak senang dengan keberhasilan yang sekan-akan telah menggantikan’posisi’ Anda itu), tidak senang melihat keberhasilan orang lain, hingga yang paling parah adalah melakukan berbagai cara untuk mencapai hasil yang Anda inginkan dan hal ini terbukti dengan maraknya aksi mencontek dikalangan pelajar dan mahasiswa karena orientasi nilai dan pencapaian target akademik yang tinggi, sehingga belajar seakan-akan untuk kebutuhan nilai dan formalitas, bukan menelaah lebih dalam apa tujuan dari pelajaran yang diberikan dan yang terpenting adalah bagaimana relevansi antara apa yang didapatkan di sekolah/kampus dengan kehidupan nyata yang berada di sekitarnya.             Lantas pertanyaannya sekarang sistem pendidikan apa yang semestinya diterapkan, kalau toh pada kenyataannya sistem pendidikan seperti ini memiliki efek yang buruk khususnya pada kecerdasan emosi siswa. Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan harus dapat menyiapkan manusia untuk dapat mengarungi kehidupan sesuai dengan jamannya. Beberapa pokok pikiran yang dapat dijadikan dasar untuk tujuan pendidikan adalah: menyiapkan individu sebagai lifelong learners (pembelajar sejati) dimana lifelong learners ini akan menyadari betul bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu sistem, dan dengan menyadari itu maka ia akan memberikan kontribusi terbaik untuk sistemnya, menyiapkan individu yang mempunyai komitmen terhadap perdamaian dan perwujudan dunia yang lebih baik, dan menyiapkan individu yang mempunyai daya saing tinggi dalam dunia kerja (jelaslah disini keberhasilan team work yang lebih diutamakan).Intinya adalah bagaimana suatu sistem pendidikan yang diterapkan bukan hanya mengangkat kecerdasan kognitif saja tetapi bagaimana sistem pendidikan tersebut dapat menjadikan manusia yang dapat menyeimbangkan body mind and soul . Potensi manusia yang harus dikembangkan melalui pendidikan adalah: aspek fisik,emosi, sosial, kreativitas, spiritual, dan akademik. Menurut Jeremy Henzell-Thomas (2004) “Membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran spiritual, moral, imajinasi, intelektual, budaya, estetika, emosi, dan fisik. Mengarahkan seluruh aspek tersebut kearah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan, yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan manusia di dunia”. Untuk itulah pendidikan holistik hadir. Pendidikan holistik mulai berkembang sekitar tahun 1960-1970. Sebagai akibat dari krisis ekologi, dampak nuklir, polusi kimia dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional beserta institusinya. Prinsip-prinsip pendidikan holistik hadir karena pada kenyataannya banyak siswa yang kesulitan dalam memahami arti (meaning), relevansi dan nilai (value) dari sekolah dan kehidupan, siswa tidak menemukan alasan tepat untuk menuntut ilmu sehingga ilmu yang dipelajari hanya diperuntukan untuk ujian, ujian bagus berarti masuk perguruan tinggi, setelah lulus kuliah terus kerja (apakah rangkaian tersebut merupakan alasan yang tepat untuk mempelajari suatu ilmu?).Tujuan pendidikan holistik yaitu bagaimana agar siswa siap menghadapi tantangan hidup termasuk akademik. Pendidikan holistik dengan prinsip dan konsep dasarnya yaitu connected, wholeness, dan being. Makna holistik dalam pendidikan mencangkup 3 aspek, yitu: holistic education, holistic curriculum, dan holistic learning. Dimana dalam pendidikan holistik mata pelajaran diberikan memiliki keterkaitan dengan yang lainnya serta relevan dalam kehidupan nyata. Dengan mata pelajaran yang saling terkait siswa dilatih agar tidak berpikir parsial, terkotak-kotak sehingga dapat memandang segala sesuatu secara utuh dan menyeluruh.Fitjrof Capra berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang sains, masyarakat, dan kebudayaan telah begitu terkotak-kotak, sehingga manusia tidak mampu melihat segala sesuatu secara keseluruhan dari setiap fenomena sehingga solusi untuk menyelesaikan permasalahanpun menggunakan pendekatan yang parsial, sehingga bukannnya menyelesaikan masalah tetapi justru memperumit masalah. Hal ini serupa dengan pendapat David Orr yang mengatakan bahwa isu-isu terbesar saat ini pasti berakar dari kegagalan kita untuk melihat segala sesuatu secara menyeluruh.Setiap manusia yang diciptakan Tuhan telah Tuhan bekali dengan mesin kecerdasan yang berbeda-beda. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk meraih kesuksesan dalam hidup. Tidak ada satupun manusia yang diciptakan Tuhan tanpa ada misi, Tuhan selalu memiliki maksud dan tujuan dalam setiap penciptanNya. Sekarang tugas kita adalah bagaimana membangun lingkungan kondusif untuk mencetak juara-juara masa depan yang bukan hanya suskses terhadap kehidupan pribadinya tetapi juga dapat memberikan kontribusi penuh terhadap sistemnya. Untuk itulah perlu adanya keseimbangan antara body mind and soul . Melalui pendidikan holistik maka akan lahirlah insan madani, insan kamil, insan paripurna yang menyadari betul bahwa tujuan akhir dari kehidupan ini adalah untuk Tuhan. Tidak ada manusia bodoh ataupun manusia yang tidak berguna, hanya tinggalah tugas kita sekarang adalah menemukan kuncinya, dan fokuslah pada kelebihannya bukan pada kelemahannya. Karena ternyata dalam penelitiannya George Boggs memaparkan bahwa kecerdasan kognitif hanya menyumbang sekitar 20% dari kesuksesan hidup, sementara sebanyak 80% ditentukan oleh kecerdasan emosi.




Daftar Pustaka
Megawangi, Ratna., R. Dona, Y. Florence, W. Farrah Dina. (2004). Pengasuhan dan Pendidikan Anak yang Patut dan Menyenangkan Untuk Anak Usia Dini (0 sampai 8 tahun): Penerapan teori DAP, Pendidikan yang Patut Sesuai Dengan Tahapan Perkembangan Anak. Depok : Indonesia Heritage Foundation.
Megawangi, Ratna. (2004). Pendidikan karakter. Depok : Indonesia Heritage Foundation.
Megawangi, Ratna., M. Latifah.,W. Farrah Dina.(2008). Pendidikan Holistik: Aplikasi Kurikulum Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Untuk Menciptakan Lifelong Learners. Depok : Indonesia Heritage Foundation.

 http://smagerreo.blogspot.com<a href="http://googleping.com">http://googleping.com</a>
<a href="http://online-casino.us.org">Online casino</a>

Moralitas Menurut Nietzsche

<a href="http://googleping.com">http://googleping.com</a><a href="http://googleping.com">http://googleping.cNietzsche: Beyo
                                                                          Nietzsche

                               Nietzsche: Beyond Moralitas 

by: INO SUHARTONO

                  Filsuf Jerman Friedrich Nietzsche bersama Kierkegaard berkeyakinan bahwa filsafat  harus mencerminkan keprihatinan pribadi individu manusia. Tapi bagi Nietzsche, ini mensyaratkan penolakan terhadap nilai-nilai tradisional, termasuk agama Kristen. Deklarasi Nietzche tentang "kematian Tuhan" menarik perhatian umum ditinggalkan budaya kita dari setiap Komitmen pada iman Kristen.

                   Menurut Nietzsche Die Götzendämmerung ( Twilight dari Idols ) (1889), filsuf Barat sejak Socrates merupakan degenerasi dari kekuatan alam kemanusiaan. Sebuah rasa mulia untuk gaya heroik hidup hanya dapat rusak dan dirusak oleh perdebatan tak berkesudahan nalar dialektis. Tradisional moralitas filsafat dan Barat agama Kristen khususnya-karena itu menentang kehidupan yang sehat, mencoba dengan sia-sia melarikan diri keadaan yang tidak menguntungkan dengan menghancurkan keinginan manusia asli. Hanya kegigihan jahat dan pengecut, ia percaya, mendorong kita untuk berpegang teguh pada moralitas budak, Akan lebih berani, lebih jujur, dan jauh lebih mulia untuk memotong diri longgar dan berani hidup di dunia tanpa Allah. Dalam dunia semacam ini, kematian tidak perlu ditakuti, karena mewakili tidak lebih penting daripada kesimpulan pas kehidupan yang ditujukan untuk keuntungan pribadi.

                   Nietzsche menegaskan bahwa tidak ada aturan bagi kehidupan manusia, tidak ada nilai mutlak, tidak ada kepastian yang bisa diandalkan. Jika kebenaran dapat dicapai sama sekali, itu hanya bisa datang dari seorang individu yang sengaja mengabaikan segala sesuatu yang secara tradisional dianggap sebagai "penting." Orang semacam manusia super {Ger. Ãœber }, Nietzsche seharusnya, dapat menjalani kehidupan manusia otentik dan sukses. 


Di luar Baik dan Jahat

                      Nietzsche menawarkan akun kuasi-historis dari konsekuensi berbahaya yang ditampilkan etika tradisional di Zur Geneologie der Moral ( Di Silsilah Moral ) (1887). "Baik" dan benar awalnya ditunjuk hanya bagi hak orang-orang dengan kekuatan sosial dan politik untuk menjalani kehidupan mereka dengan kekerasan semata-mata sebagai kehendak. Tapi "imam" kasta, termotivasi oleh kebencian mereka terhadap atasan alam mereka, menghasilkan alternatif korup yang menarik bagi "kawanan" orang kurang mampu, mengubah nilai-nilai dalam keluar. Dalam "moralitas budak" didukung oleh yayasan agama Nietzsche berpendapat, tindakan tegas yang harus dikagumi akan dicap sebagai "jahat", sementara kecenderungan pengecut untuk memikirkan segala sesuatu sebelumnya berubah menjadi keutamaan yang seharusnya kehati-hatian.

Otonomi asli Nietzsche dipertahankan, hanya bisa berarti kebebasan dari semua kendala eksternal pada perilaku seseorang. Dalam  (alam dan mengagumkan) eksistensinya, setiap individu manusia akan menjalani hidup tanpa batas seperti yang dikehendaki oleh kewajiban moral. Tidak ada sanksi lain pada perilaku yang diperlukan dari hukum alam yang terlibat dalam kemenangan seseorang lebih unggul di atas musuh yang kalah.

                         Tapi keinginan orang yang lebih rendah untuk mengamankan diri terhadap gangguan dari mereka yang lebih baik menimbulkan rasa tanggung jawab moral palsu. Ketakutan alami karena kewalahan oleh musuh yang  unggul diinternalisasi sebagai rasa yang dihasilkan diri dari rasa bersalah, dan hati nurani individu berada dibatas parah pada  keinginan normal manusia. Dengan demikian, pada pandangan Nietzsche, diri pengkhianatan-dasar umat manusia adalah untuk mengirimkan kebebasan pada tuntutan fiktif dari dewa imajiner. Takut untuk hidup dengan kekuatan kehendak kita sendiri, kita menemukan agama sebagai cara untuk menghasilkan dan kemudian menjelaskan arti abadi "kami menjadi tertindas dan kalah dalam kehidupan".

Klik disini Untuk Baca Artikel: Kematian Tuhan dan Kepercayaan pada Sains

ARTIKEL, MAKALAH, OPINI

Urgensi Opini Publik dalam Komunikasi Politik

Nenos 

OPINI | 

                Berbicara tentang opini publik maka kita harus mengkaji dulu definisi opini. Opini adalah tindakan mengungkapkan apa yang dipercayai, dinilai dan diharapkan seseorang dari objek dan situasi tertentu. Opini memiliki beberapa proses yang dikenal dengan konstruksi, yaitu :

• Konstruksi personal. Opini berupa pengamatan dan interpretasi atas sesuatu     secara sendiri-sendiri dan subjektif.

• Konstruksi sosial. Konstruksi ini terdiri dari- Opini kelompok. Opini pribadi di atas kemudian diangkat dalam kelompok tertentu. Maka jadilah opini kelompok.- Opini rakyat Opini yang tersistematiskan melalui jalur yang bebas seperti pemilihan umum atau hasil polling.- Opini massa yaitu opini yang berserakan, ini bisa berbentuk budaya atau konsensus. Inilah yang oleh para politikus disebut sebagai opini publik.

• Konstruksi politik. Ketiga opini hasil konstruksi sosial diatas dihubungkan dengan kegiatan pejabat publik yang mengurus masalah kebijakan umum. Inilah opini publik yang dikaji dalam komunikasi politik.Opini public dilukiskan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga Negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggungjawab atas dicapainya ketertiban social dalam siutuasi yang mengandung konflik perbantahan dan perselisihan pandapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. 

               Opini public akan memunculkan citra personal seseorang tentang politik melalui suatu interpretasi yang akan menghasilkan opini pribadi. Setiap opini merefleksikan organisasi yang komplek yang terdiri atas tiga komponen yaitu kepercayaan, nilai dan pengharapan.Ruang lingkup opini public: Berdasarkan distribusinya opini public terbagi menjadi tiga yaitu opini public yang tunggal (ungkapan rakyat) disebut opini yang banyak, opini public beberapa orang (ungkapan kelompok) disebut opini yang sedikit dan opini public banyak orang (ungkapan massa) disebut opini yang satu. Ketiganya merupakan wajah opini public yaitu opini massa, kelompok dan opini rakyat.Dengan kata lain, opini publik dapat menimbulkan kontroversi, antara pemerintah dan masyarakat sendiri. Namun, tidak jarang juga opini publik justru diarahkan untuk menguatkan kekuatan para elit politik. Dari hal itulah, opini publik juga tidak sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat; sesuai dengan hati nurani masing-masing individu.Arti opini publik yang pramodern dewasa ini mempunyai arti penting dalam dua hal (Bernad Hennessy, 1990). Pertama, opini publik sebagai tekanan dari teman sejawat tetap merupakan hambatan bagi keterlibatan warga negara secara penuh. 

                   Minimnya sikap toleransi terhadap pandangan minoritas pun terjadi di banyak negara. Kedua, pemerintah mempunyai sumber yang luas untuk menciptakan, memperkuat, dan mengarahkan tekanan untuk menyesuaikan diri. Oleh karena itu, para elit politik tidak akan tanggung-tanggung melakukan manipulasi informasi dan kebohongan yang blak-blakan bila “kepentingan vital” mereka dirasakan terancam. Hal tersebut menunjukkan bahwa hanya segelintir orang saja yang tidak takut terisolasi jarena mereka mampu mengatakan hal yang bertentangan dengan kebijakan elit politik dan mampu membongkar kebobrokan sistem yang ada.Berbicara mengenai opini publik, tentu saja tidak terlepas adanya relevansi dengan sistem demokrasi pada suatu negara. Unsur esensial pemerintahan demokrasi itu sendiri adalah mengenai kepekaan terhadap opni publik. Pemerintah sebaiknya tanggap terhadap apa yang telah diaspirasikan publik, baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintah.Walaupun ada pihak-pihak yang kontra, pemerintah sebaiknya juga memberikan appreciate terhadap mereka. Untuk mempraktekkan unsur kepekaan, pemerintah dapat lebih kritis lagi, yaitu dengan mencari tahu alasan/latar belakang mengapa masyarakat lebih memilih untuk kontra dengan pemerintah. Hal tersebut justru dapat membantu pemerintah untuk melihat segala sesuatu permasalahan dari berbagai sudut pandang, tidak sekedar demi kepentingan golongan/kaum mayoritas saja.

                 Dinamika opini publik dalam sistem politik demokrasi berawal dari adanya teori demokrasi tradisional yang muncul pada abad ke-18 dan 19. Pada awalnya, para pemikir demokrasi mengandalkan suatu situasi sosiopolitik di mana individu menjadi dasar dari badan politik. Hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah merupakan hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Namun, para kaum aristokrat pada saat itu sangat besar kemampuannya untuk mempengaruhi perilaku-perilaku dan pendapat-pendapat dari individu lainnya. Oleh karena itu, kaum-kaum yang begitu kuat mengikat masyarakat lainnya segara dihilangkan. Tetapi sejak saat itu, pendapat individu (dengan mengambil suara mayoritas) diterjemahkan menjadi kebijakan, yaitu kebijakan yang diharapkan dapat melayani kepentingan seluruh individu dengan melayani kepentingan seorang individu.Pemerintah sendiri kadang tidak memperhatikan bagaimana opini publik terbentuk. Padahal, akan banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi opini masyarakat, baik itu permasalahan adanya kekuatan dominan dari kaum mayoritas, kekuasaan ekonomi, dan hal kompleks lainnya. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang sederhana antara opini publik dengan praktek demokrasi (Kelley, 1956).Selanjutnya, dinamika opini publik dapat dilihat dari faktor sosiologis dan kelembagaan prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam sistem demokrasi. 

               Lippmann mengatakan bahwa dalam masyarakat yang swasembada, seseorang dapat menganggap atau setidaknya telah menganggap, suatu kode moral yang serba sama. Maka perbedaan pendapat hanya dilihat berdasarkan pada penerapan logis dari standar yang diterima kepada fakta-fakta yang diterima (Walter Lipmann, 1922).Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dihubungkan dengan situasi yang terjadi pada tahun 1800. Pada saat itu, kaum petani tentu saja lebih menyetujui bahwa kode moral yang menjadi kesepakatan bersama dalam praktik demokrasi adalah adanya rasa solidaritas. Namun, jelas akan berbeda dengan praktik demokrasi yang dijalani pada masa modern ini. tingkat keserbasamaan akan semakin luntur dan justru meningkatkan individualisme. Hal itulah yang dianggap sebagai prosedur dan tujuan yang disepakati dalam praktik demokrasi saat ini, yaitu dengan menjunjung praktik demokrasi liberal.Salah satu prasyarat bagi pembentukan pendapat dalam demokrasi adalah adalah mengenai kebebasan komunikasi. Prasyarat ini dapat diterapkan dalam demokrasi tradisional maupun modern karena kebebasan komunikasi memberikan masing-masing individu bebas untuk mengeluarkan aspirasinya baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Di Indonesia sendiri memiliki Undang-Undang yang memberikan hak individu untuk berpendapat, yaitu pada UUD 1945 Pasal 28. 

                   Dengan adanya kebebasan berkomunikasi, diharapkan apa yang telah diaspirasikan oleh individu dapat diperdebatkan selama bertahun-tahun dan bahkan harus diperdebatkan kembali oleh setiap generas-generasi demokrat. Hal tersebut bertujuan agar adanya pembahasan atau diskusi terhadap aspirasi-aspirasi yang ada dalam masyarakat.Dalam proses perumusan dan perencanaan kebijakan, Indonesia mempunyai model proses kebijakan-pendapat dalam demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan menempatkan suatu badan pengambil keputusan antara elektorat dengan kebijakan pemerintah. Tetapi tambahan tingkat legislatif seperti ini membuat interaksi opini publik dan kebijakan semakin rumit (Gerhart D. Wiebe dalam Hennessy, 1990). Dalam model demokrasi perwakilan, kebijakan ditetapkan berdasarkan pada pendapat mayoritas. Dan, suara mayoritas tersebut didapat daria spirasi berbagai macam kelompok kepentingan politik dan juga kelompok-kelompok dalam masyarakat sendiri. 

Kamis, 23 Oktober 2014

                                 QUOVADIS KURIKULUM PENDIDIKAN KITA

By: INO SUHARTONO

            Apakah bobroknya sistim pendidikan Indonesia juga mempengaruhi pembodohan siswa? Pembodohan siswa juga dipengaruhi oleh buruknya sistim pendidikan. Namun apakah benar sekarang sistim pendidikan dinegara kita benar-benar telah buruk sehingga menghancurkan pertahanan dan kekuatan pendidikan kita yang pada era 50-an menjadi sorotan Negara tetangga kita yang sekarang telah maju seperti Singapura dan Malaysia. Semua hak cipta pendidikan kita seakan-akan dirampas oleh mereka sehingga Indonesia yang pada awalnya masih berada pada peringkat lebih atas dari mereka tersudut dengan kebodohan sendiri dan hanya mampu mengatakan wah…mereka hebat!!!.... padahal kita seharusnya malu dan berusaha merebut kembali citra pendidikan kita dengan terus bersemangat serta berdoa dan beriktiar untuk memajukan dan mengembangakan pendidikan.
Miris rasanya jika kita melihat realita saat ini. tirani kebodohan dan pembodohan masih terus bercokol di berbagai pelosok nusantara. lihat saja kurikulum pendidikan kita saat ini yang masih mengacu pada pedoman era industry. dimana sekolah-sekolah dan tempat universitas sekalipun secara berkesinambungan hanya mencetak para robot agar bisa bekerja, bekerja dan bekerja. terbukti ketika terjadi pembukaan lowongan pns, yang di butuhkan  cuma 60, yang mendaftar bisa sampai 3000 orang. tidak hanya itu, lowongan pekerjaan swastapun demikian halnya. Pengangguran intelektual kita saat ini sudah mencapai jutaan orang. Apakah tidak ada evaluasi sama sekali terhadap kasus tersebut untukbisa  merancang sebuah arsitek pembangunan SDM masa depan yang bermutu ?
dan ini baru satu kasus, masih begitu banyak tirani kebodohan dan pembodohan lain yang bisa kita kuak. dan ini artinya kita benar-benar belum merdeka.

            Benarkah desentralisasi akan meningkatkan mutu pendidikan dinegri kita yang tercinta ini? Coba kita renungkan, pertama kebijaksanaan desentralisasi memerlukan pelaksanaan-pelaksanaan yang bertanggungjawab, inovatif, kreatif dan berjiwa mandiri. Karena pengalaman dibawah sistim pendidikan sentralisasi yang cukup lama dan berlebihan, maka pelaksanaan pendidikan dengan sifat-sifat diatas tidak banyak. Pelaksanaan pendidikan kita sudah terbiasa dengan intruksi ,juklak,dan juklis. Sehingga adanya kebijaksanaan desentalisasi setidak-tidaknya untuk waktu tertentu akan menimbulkan kemandekan dalam dunia pendidikan. Kedua, desentralisasi mungkin bisa meningkatkan kwalitas pendidikan dalam arti meningkatkan penguasan anak atas mata pelajaran yang diberikan sebagaimana ditunjukkan oleh scor test. Tetapi desentralisasi belum merupakan jaminan bisa ditingkatkan eksternal efisiensi, dalam arti dalam lulusan sekolah bisa mendapatkan dan melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya.
Tembok yang kokoh kuat sebagaimana tembok berlin memisahkan dunia pendidikan “ dunia kerja” difihak lain. Adanya tembok pemisah tersebut menjadikan adanya kesenjangan antara kedua dunia tersebut. Akibatnya hubungan antara dunia pendidikan dan dunia kerja tidak harmonis. Kemajuan yang terjadi didunia kerja tidak bisa disadap secsra cepat oleh dunia pendidikan tidak cocok dengan kebutuhan kerja. Dan adanya penganguran bersamaan kekurangan tenaga kerja didunia kerja tidak bisa dielakkan lagi.
Penghilang tembok pemisah antara dunia kerja dan dunia pendidikan atau deberlinisasi ini sangat diperlukan untuk melengkapi desentralisasi. Sebab desentralisasi hanya akan meningkatkan penguasaan pelajaran, tetapi bukan meningkatkan kemampuan bekerja. Deberlinisasi berarti memberikan kesempatan orang-orang dari dunia pendidikan mendapatkan sesuatu yang rill daru dunia kerja, sebaliknya orang yang dari dunia kerja bisa mendapatkan informasi-informasi dari dunia pendidikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dunia kerja. Demikian pula, tenaga-tenaga ahli dari dunia kerja diajak untuk mengembangkan kurikulum pendidikan,bahkan sudah masanya mereka ini diundang masuk kedunia pendidikan. Kehadiran tenaga dari dunia kerja ini tidak hanya akan menjadikan apa yang disampaikan sangat menarik sehingga sehingga meningkatkan aspek kognitif mahasiswa atau siswa, tetapi yang lebih penting lagi, kehadirannya akan semangat dan metalitas dunia kerja kedalam dunia pendidikan.

     Energi bangsa kita suadah banyak terbuang sia-sia untuk menciptakan tembok-tembok pemisah yang melahirkan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala beban kurikulum yang luar biasa beratnya. Padahal, jika potensi (IQ) siswa hanya 90 atau 100, diberi pelajaran tambahan berapapun, tidak akan meningkatkan hingga 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan pada bidang keterampilan untuk menyiapkan 85% penduduk agar mereka siap dan terampil untuk bekerja secara profesional, mencintai pekerjaannya dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi Indonesia tidak separah sekarang (Megawangi 2008).
Lihatlah sejenak anak-anak yang lebih memilih nongkrong di jalan bahkan dengan bangganya menghisap rokok dan mereka benar-benar tidak memiliki rasa malu dengan atribut lengkap yang masih mereka kenakan (seragam) yang bahkan mencantumkan namanya dan identitas sekolah yang sangat lengkap. Lantas pertanyaanpun muncul, apa sebenarnya titik masalah yang mereka hadapi? Apakah permasalahan ekonomi? Keluarga? Lingkungan masyarakat yang tidak mendukung? Atau kah lingkungan akademik yang seakan-akan menganggap mereka kaum ‘terpinggirkan’ karena tidak sekompeten siswa yang lainnya sehingga jalanlah pilihan mereka dibandingkan sekolah yang di create untuk menimba ilmu sebanyak mungkin sehingga menghasilkan insan-insan akademisi unggul. Lantas bukankah Tuhan membekali manusia dengan struktur otak yang sama, dan ketika manusia dilahirkan benar-benar pure semuanya sama tidak memiliki pengetahuan sama sekali karena pengetahuan tumbuh tidak terlepas dari di mana dan pada lingkungan seperti apa ia dibesarkan.
Erik Erikson (1902-1994) berpendapat bahwa perkembangan emosi positif sangat penting dalam perkembangan jiwa anak, dan ini sangat bergantung pada peran orangtua dan guru. Memasuki usia 18 bulan sampai 3,5 tahun seorang anak memasuki tahap autonomy vs shame/doubt (kemandirian vs ragu/malu) dalam tahapan ini anak akan mempunyai rasa malu dan ragu tentang kemampuan dirinya. Mereka hendaknya dibiarkan bebas bereksplorasi dan bereksperimen walau tetap dalam pengawasan orangtua. Anak yang sering dilarang, dimarahi, serta dihukum pada tahapan ini akan menjadi pribadi yang apatis dan rendah diri. Ia juga akan menjadi ragu dalam proses pengembangan identitas kepribadiannya yang unik karena takut dianggap berbeda. Usia 3,5-6 tahun anak memasuki tahap initiative vs guilt (inisiatif vs merasa bersalah) seorang anak yang baik pada tahapan sebelumnya berpotensi berkembang ke arah yang positif (kreatif, antusias, aktif bereksperimen, imajinatif, berani mencoba, berani mengambil resiko, dan senang bergaul dengan kawannya). Kesemuanya ini bergantung kepada lingkungan belajar anak yang kondusif, jika pada masa ini anak sering dikritik, maka emosi yang timbul adalah negatif (selalu timbul perasaaan bersalah atas apa yang telah ia kerjakan) ketika anak diberikan tanggung jawab dan semakin ia merasa bertanggung jawab, maka anak semakin mempunyai inisiatif. Usia 6-10 tahun anak memasuki tahap industry vs inferiority (berkarya/etos kerja vs minder) masa ini merupakan masa kyang sangat kritis bagi anak, di mana anak mengembangkan kepercayaan dirinya bahwa mereka mampu untuk berkarya dan bereksplorasi. Seharusnya pada masa ini anak paling antusia belajar dan berimajinasi. Pada masa ini yang harus ditimbulkan pada perasaan anak seperti “Aku bisa”, “Aku pintar”, “Aku anak baik”,dll. Karena bila perasaan ini tidak ditimbulkan maka akan timbullah perasaan rendah diri atau minder seperti “Aku bodoh”,”Aku tidak bisa berkarya”,dll. Apabila perasaan negatif ini terus timbul maka akan terbawa hingga ia dewasa.
              Merujuk pada tahapan-tahapan perkembangan tersebut yang ternyata masuk ke dalam usia pra sekolah dan sekolah dapat ditarik kesimpulan bahwa usia-usia tersebut merupakan masa yang sangat penting dimana antusias dan kepercayaan diri pada diri anak di bangun. Dapat dibayangkan apabila ternyata anak justru tidak mendapatkan kondisi positif untuk belajar dan mengembangkan dirinya. Mari sejenak kita mengingat bagaimana sistem ranking diterapkan. Ranking di kelas berarti secara gamblang memberikan informasi atas pencapaian kognitif siswa di kelas. Hal ini bukanlah menjadi suatu masalah bagi anak yang memiliki kemampuan kognitif yang baik tetapi bagaimana dengan anak yang justru kecerdasannya bukan dikognitif, bagaimana perasaan anak ketika misalnya ia mendapatkan ranking terakhir di kelas, bukankah secara tidak langsung hal ini menimbulkan rasa minder, bodoh, bahkan mungkin merasa menjadi siswa yang tidak berguna. Belum lagi ketika ternyata keluarganya bukannya malah mensupport tetapi justru memojokan anak sehingga melekatlah citra ‘produk gagal’. Lantas jika ini terus-terusan berlanjut maka anak akan mencari ‘pelarian’, dimana anak akan mencari lingkungan yang benar-benar dapat menerimanya dan tidak menganggap dia sebagai ‘produk gagal’ yang tidak berguna. Maka tidaklah heran kalau ternyata kini angka kenakalan remaja seperti free sex, geng motor, tawuran, dll dikalangan usia sekolah tinggi.
Padahal menurut Howard Gardner orang yang pertama mencetuskan istilah multiple intelligences (kecerdasan majemuk). Konsep ini memperkenalkan bahwa manusia belajar dan berhasil melalui berbagai kemampuan kecerdasan yang tidak terukur oleh IQ. Menurut Gardner, definisi cerdas adalah “Kemampuan memecahkan masalah atau kemampuan berkarya menghasilkan sesuatu yang berharga untuk lingkungan sosial, budaya, atau lingkungannya”. Gardner membagi kecerdasan kedalam 9 aspek yaitu: picture smart (spasial) kemampuan tinggi dalam memvisualisasikan fenomena dalam bentuk gambar, people smart (kecerdasan interpesonal) kemampuan sosialisasi yang baik, ciri kecerdasan ini ialah mudah menyelesaikan konflik dengan orang lain, body smart (kecerdasan kinestik) cepat mempelajari dan menguasai kegiatan-kegiatan yang melibatkan fisik, baik motorik kasar maupun halus, word smart (kecerdasan bahasa) mampu mengekspresikan pikirannya secara verbal maupun tulisan, self smart (kecerdasan intrapersonal) mudah mengenali perasaan diri (puisi,drama,meditasi,menulis jurnal, dan bercerita), sound Smart (kecerdasan musik), nature smart (kecerdasan mempelajari alam) mempelajari fenomena alam (biologi), number smart (kecerdasan logika matematika), spiritual smart (kecerdasan spiritual) menyadari adanya saling keterkaitan antara dirinya dengan manusia lain, serta lingkungannya, kemampuan berpikir dalam tentang makna hidup.
Anak-anak yang mempunyai masalah dalam perkembangan emosi sosialnya akan mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak dapat mengontrol emosinya.Aspek kecerdasan emosi anak dapat membantu anak dalam mengembangkan potensi-potensi lainnya secara lebih optimal. Bahkan anak yang tadinya kelihatan agak terbelakang, dengan diberikan perhatian dan lingkungan belajar yang kondusif untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya, dapat membuat anak tersebut mampu mengikuti pelajaran sekolah dengan baik (Megawangi 2004).

               Pertanyaanpun muncul, bukankah dengan diterapkannya sistem ranking anak akan terpacu untuk belajar lebih baik lagi dengan harapan anak dapat meraih prestasi sebaik mungkin. Ya itu memang betul, dengan diterapkannya sistem ranking maka akan menimbulkan persaingan sehingga setiap individu akan berlomba-lomba untuk mendapatkan hasil yang terbaik tetapi ingat ini hasil untuk apa dan untuk siapa, kalau toh ini hanya berpusat pada pencapaian dan keberhasilan individu maka jangan salahkan jika begitu banyak masyarakat kita yang memiliki sifat individualis yang tinggi (bukankah ketika Anda meraih tingkatan tertinggi Anda telah mengalahkan orang lain, dan untuk mempetahankan posisi Anda, Anda akan melakukan segala upaya untuk tetap mempertahankannya dan ketika posisi Anda beralih kepada orang lain Anda tidak senang dengan keberhasilan yang sekan-akan telah menggantikan’posisi’ Anda itu), tidak senang melihat keberhasilan orang lain, hingga yang paling parah adalah melakukan berbagai cara untuk mencapai hasil yang Anda inginkan dan hal ini terbukti dengan maraknya aksi mencontek dikalangan pelajar dan mahasiswa karena orientasi nilai dan pencapaian target akademik yang tinggi, sehingga belajar seakan-akan untuk kebutuhan nilai dan formalitas, bukan menelaah lebih dalam apa tujuan dari pelajaran yang diberikan dan yang terpenting adalah bagaimana relevansi antara apa yang didapatkan di sekolah/kampus dengan kehidupan nyata yang berada di sekitarnya.
             Lantas pertanyaannya sekarang sistem pendidikan apa yang semestinya diterapkan, kalau toh pada kenyataannya sistem pendidikan seperti ini memiliki efek yang buruk khususnya pada kecerdasan emosi siswa. Dewey berpendapat bahwa tujuan pendidikan harus dapat menyiapkan manusia untuk dapat mengarungi kehidupan sesuai dengan jamannya. Beberapa pokok pikiran yang dapat dijadikan dasar untuk tujuan pendidikan adalah: menyiapkan individu sebagai lifelong learners (pembelajar sejati) dimana lifelong learners ini akan menyadari betul bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu sistem, dan dengan menyadari itu maka ia akan memberikan kontribusi terbaik untuk sistemnya, menyiapkan individu yang mempunyai komitmen terhadap perdamaian dan perwujudan dunia yang lebih baik, dan menyiapkan individu yang mempunyai daya saing tinggi dalam dunia kerja (jelaslah disini keberhasilan team work yang lebih diutamakan).
Intinya adalah bagaimana suatu sistem pendidikan yang diterapkan bukan hanya mengangkat kecerdasan kognitif saja tetapi bagaimana sistem pendidikan tersebut dapat menjadikan manusia yang dapat menyeimbangkan body mind and soul . Potensi manusia yang harus dikembangkan melalui pendidikan adalah: aspek fisik,emosi, sosial, kreativitas, spiritual, dan akademik. Menurut Jeremy Henzell-Thomas (2004) “Membangun secara utuh dan seimbang pada setiap murid dalam seluruh aspek pembelajaran spiritual, moral, imajinasi, intelektual, budaya, estetika, emosi, dan fisik. Mengarahkan seluruh aspek tersebut kearah pencapaian sebuah kesadaran tentang hubungannya dengan Tuhan, yang merupakan tujuan akhir dari semua kehidupan manusia di dunia”.
Untuk itulah pendidikan holistik hadir. Pendidikan holistik mulai berkembang sekitar tahun 1960-1970. Sebagai akibat dari krisis ekologi, dampak nuklir, polusi kimia dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional beserta institusinya. Prinsip-prinsip pendidikan holistik hadir karena pada kenyataannya banyak siswa yang kesulitan dalam memahami arti (meaning), relevansi dan nilai (value) dari sekolah dan kehidupan, siswa tidak menemukan alasan tepat untuk menuntut ilmu sehingga ilmu yang dipelajari hanya diperuntukan untuk ujian, ujian bagus berarti masuk perguruan tinggi, setelah lulus kuliah terus kerja (apakah rangkaian tersebut merupakan alasan yang tepat untuk mempelajari suatu ilmu?).
Tujuan pendidikan holistik yaitu bagaimana agar siswa siap menghadapi tantangan hidup termasuk akademik. Pendidikan holistik dengan prinsip dan konsep dasarnya yaitu connected, wholeness, dan being. Makna holistik dalam pendidikan mencangkup 3 aspek, yitu: holistic education, holistic curriculum, dan holistic learning. Dimana dalam pendidikan holistik mata pelajaran diberikan memiliki keterkaitan dengan yang lainnya serta relevan dalam kehidupan nyata. Dengan mata pelajaran yang saling terkait siswa dilatih agar tidak berpikir parsial, terkotak-kotak sehingga dapat memandang segala sesuatu secara utuh dan menyeluruh.
Fitjrof Capra berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang sains, masyarakat, dan kebudayaan telah begitu terkotak-kotak, sehingga manusia tidak mampu melihat segala sesuatu secara keseluruhan dari setiap fenomena sehingga solusi untuk menyelesaikan permasalahanpun menggunakan pendekatan yang parsial, sehingga bukannnya menyelesaikan masalah tetapi justru memperumit masalah. Hal ini serupa dengan pendapat David Orr yang mengatakan bahwa isu-isu terbesar saat ini pasti berakar dari kegagalan kita untuk melihat segala sesuatu secara menyeluruh.
Setiap manusia yang diciptakan Tuhan telah Tuhan bekali dengan mesin kecerdasan yang berbeda-beda. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk meraih kesuksesan dalam hidup. Tidak ada satupun manusia yang diciptakan Tuhan tanpa ada misi, Tuhan selalu memiliki maksud dan tujuan dalam setiap penciptanNya. Sekarang tugas kita adalah bagaimana membangun lingkungan kondusif untuk mencetak juara-juara masa depan yang bukan hanya suskses terhadap kehidupan pribadinya tetapi juga dapat memberikan kontribusi penuh terhadap sistemnya. Untuk itulah perlu adanya keseimbangan antara body mind and soul . Melalui pendidikan holistik maka akan lahirlah insan madani, insan kamil, insan paripurna yang menyadari betul bahwa tujuan akhir dari kehidupan ini adalah untuk Tuhan. Tidak ada manusia bodoh ataupun manusia yang tidak berguna, hanya tinggalah tugas kita sekarang adalah menemukan kuncinya, dan fokuslah pada kelebihannya bukan pada kelemahannya. Karena ternyata dalam penelitiannya George Boggs memaparkan bahwa kecerdasan kognitif hanya menyumbang sekitar 20% dari kesuksesan hidup, sementara sebanyak 80% ditentukan oleh kecerdasan emosi.
Daftar Pustaka
Megawangi, Ratna., R. Dona, Y. Florence, W. Farrah Dina. (2004). Pengasuhan dan Pendidikan Anak yang Patut dan Menyenangkan Untuk Anak Usia Dini (0 sampai 8 tahun): Penerapan teori DAP, Pendidikan yang Patut Sesuai Dengan Tahapan Perkembangan Anak. Depok : Indonesia Heritage Foundation.
Megawangi, Ratna. (2004). Pendidikan karakter. Depok : Indonesia Heritage Foundation.
Megawangi, Ratna., M. Latifah.,W. Farrah Dina.(2008). Pendidikan Holistik: Aplikasi Kurikulum Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Untuk Menciptakan Lifelong Learners. Depok : Indonesia Heritage Foundation.

Selasa, 21 Oktober 2014

                                                              Kesadaran Kritis
                                 dan Pendidikan Demokrasi

By: Ino Suhartono
Staf Pengajar SMAK St.Gregorius Reo

Pendidikan perlu untuk menumbuhkan kesadaran kritis peserta didiknya. Pendidikan harus mengajak peserta didik untuk jeli melihat ketidakadilan di dalam kehidupan sosial, bersikap reflektif, merumuskan pemikirannya tentang ketidakadilan itu, dan kemudian mengajukan solusi untuk melenyapkannya. (Amelia, 2009) Pendidikan yang masih berfokus pada pengajaran teknis yang sempit di dalam tembok-tembok displin ilmu tidak akan pernah mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kesadaran kritis. Di dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia, pendidikan yang berfokus pada penciptaan kesadaran kritis amatlah diperlukan. Sebuah negara yang masih berfokus pada penciptaan ‘tukang-tukang’ ilmiah tidak akan mampu menciptakan kultur demokratis yang diperlukan, guna menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera melalui jalan-jalan demokratis.

Pendidikan sebagai Penyadaran
Argumen tersebut dirumuskan oleh Paulo Freire untuk melawan semua bentuk penindasan yang terjadi pada masyarakat Sao Paulo, Brasil pada masa ia hidup. Ia berpendapat bahwa pendidikan tidak boleh steril dari politik. Sebaliknya pendidikan harus mampu ikut serta di dalam proses untuk mewujudkan politik yang berakar pada keadilan. Pendidikan harus melibatkan dirinya di dalam dinamika sosial masyarakat, termasuk di dalamnya dinamika ekonomi, politik, dan budaya.
Freire juga menegaskan bahwa pendidikan perlu untuk membuka mata peserta didik terhadap penindasan yang terjadi di depan matanya, yang mungkin selama ini belum disadari. Pengandaian dasar Freire adalah bahwa realitas selalu menyimpan ketidakadilan dan penindasan di baliknya. Realitas harus terus dicurigai sebagai sesuatu yang menyembunyikan ketidakadilan. Proses pendidikan adalah proses untuk menyadarkan peserta didik, sehingga mereka tergerak untuk membongkar ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di depan mata mereka.
Di Indonesia mayoritas guru dan dosen belum mengetahui atau meresapi pemikiran Freire tersebut. Mereka berfokus pada transfer pengetahuan teknis, tanpa ada dorongan lebih jauh untuk membuka mata peserta didik terhadap ketidakadilan sosial yang terjadi sehari-hari di Indonesia. Akibatnya peserta didik menjadi tidak peka terhadap situasi sekitar mereka. Dan lebih parah lagi, mereka justru menjadi orang-orang yang melestarikan dan bahkan mengembangkan penindasan sosial yang ada.
Pada hemat saya pola pendidikan semacam itu sama sekali tidak membebaskan dan menyadarkan. Sebaliknya pola pendidikan semacam itu pada akhirnya akan menghancurkan masyarakat secara umum. Para peserta didik menjadi orang yang angkuh dan berpikir konservatif. Mereka merasa diuntungkan dengan adanya penindasan, maka mereka lalu diam saja, atau justru memperparah keadaan. Dalam arti ini tujuan pendidikan telah gagal sejak awal.
Dipaksa untuk Bebas
Proses penyadaran dan pembebasan memang tidak datang dari surga. Sebaliknya proses tersebut harus diawali dengan penderitaan dalam bentuk paksaan. Secara normatif hal tersebut memang tidak bisa dibenarkan. Namun secara realistik setiap bentuk kebebasan selalu muncul dari adanya penindasan dan paksaan.
Setiap orang bebas untuk memilih makanan kesukaannya. Namun terlebih dahulu ia perlu belajar cara makan yang tepat. Untuk memperoleh pengetahuan tentang cara makan yang tepat, ia harus dipaksa belajar oleh orang tuanya. Setiap orang berhak untuk menuliskan pemikirannya secara bebas. Namun untuk bisa menulis, ia perlu dipaksa untuk belajar oleh guru dan orang tuanya.
Dengan demikian kesadaran dan kebebasan adalah sesuatu yang muncul dari bangkai peradaban yang memang berisi penindasan. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) juga muncul dari pengalaman traumatis atas perbudakan dan penjajahan. Maka sudah sewajarnya untuk bisa berpikir kritis, orang perlu untuk dilatih dalam tekanan dan paksaan terlebih dahulu. Harapannya ia kemudian menjadi sadar, dan tergerak dari dalam untuk mengembangkan kesadarannya itu.
Pendidikan Demokrasi
Di dalam masyarakat demokratis, setiap orang berhak untuk berpikir dan menyampaikan pemikirannya tersebut. Ia berhak untuk membentuk kelompok ataupun organisasi, dan menyampaikan pemikirannya di dalam organisasi itu. Dalam arti ini dapatlah disimpulkan, bahwa konsep kebebasan sangatlah penting di dalam masyarakat demokratis. Namun kebebasan macam apa yang perlu untuk dirawat dan dikembangkan?
Kebebasan yang diperlukan adalah kebebasan yang berakar pada kesadaran kritis orang yang tergerak oleh penindasan ataupun ketidakadilan sosial yang terjadi di depan matanya. Kebebasan di dalam masyarakat demokratis bukanlah kebebasan tanpa arah dan anarkis, melainkan kebebasan yang berorientasi pada upaya-upaya kritis, guna menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dalam arti ini kebebasan dan kesadaran kritis adalah dua hal yang tidak boleh dipisahkan! Pendidikan memainkan peranan yang sangat penting untuk menciptakan kesadaran kritis di pikiran para peserta didik. Ingat, ditangan merekalah masa depan Bangsa Indonesia ditentukan.***